A.
Sejarah
Ilmu Kalam
1. Aqidah Islam Pada Masa Nabi
Ketika Nabi Muhammad Saw. masih hidup, umat Islam masih bersatu-padu,
belum ada aliran-aliran/firqah. Apabila terjadi perbedaan pemahaman terhadap
suatu persoalan, maka para sahabat langsung berkonsultasi kepada Nabi. Dengan
petunjuk Nabi tersebut, maka segala persoalan dapat diselesaikan dan para
sahabat mematuhinya.
Semangat
persatuan sangat dijaga oleh para sahabat, karena selalu berpegang
kepada firman Al: “Dan taatilah kamu sekalian kepada Allah
dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, karena semua itu akan
menyebabkan kalian gagal”. (QS. Al-Anfâl [8]: 46)
Para sahabat dilarang oleh Rasulullah Saw. memperdebatkan sesuatu
yang dapat memicu perpecahan, misalnya tentang qadar. Sehingga pada masa ini, corak aqidah bersifat monopolitik, yaitu hanya ada satu bentuk
ajaran tanpa perbedaan dan persanggahan dari para sahabat. Para sahabat yang
mendatangi Nabi bukan untuk memperdebatkan ajaran yang dibawanya, tetapi
menanyakan persoalan-persoalan yang belum mereka pahami.
Embrio perpecahan baru muncul setelah Nabi Muhammad Saw. wafat.
Mereka berselisih tentang siapa yang paling berhak untuk menggantikan
kepemimpinan umat
Islam
setelah Nabi. Kaum Anshor yang dipimpin Sa’ad bin Ubadah berembuk di Tsaqifah bani Sa’idah untuk membicarakan
penggantian kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. yang kemudian menyusul hadir Abu
Bakar ash-Ṣiddiq, Umar bin Khaṭab dan Abu Ubaidah bin Jarrah dari kalangan
Muhajirin. Pada akhirnya dicapailah kesepakatan untuk mengangkat Abu Bakar
ash-Ṣiddiq sebagai khalifah.
2.
Aqidah Islam Pada Masa Khulafa ar-Rasyidin
Pada masa Khulafa
ar-Rasyidin, khususnya pada masa pemerintahan Abu Bakar (11-13 H), dan Umar
bin Khattab (13-23 H) persatuan umat Islam masih bisa dipertahankan, biarpun
pada awal masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Ṣiddiq sempat muncul beberapa nabi
palsu dan keengganan sebagian umat Islam membayar zakat, namun semua
permasalahan tersebut dapat diatasi oleh Abu Bakar ash-Ṣiddiq.
Benih-benih perpecahan mulai muncul pada akhir masa pemerintahan
Utsman bin Affan, yaitu ketika Khalifah
Utsman bin Affan (23-35 H) melakukan reformasi di bidang administratur
pemerintahan. Kebijakan yang diambil Khalifah Utsman tersebut berdampak kepada
situasi politik yang tidak stabil.
Situasi politik yang tidak stabil pada masa pemerintahan Khalifah
Utsman bin Affan mencapai puncaknya dengan terbunuhnya khalifah ketiga
tersebut. Peristiwa yang menyedihkan dalam sejarah Islam ini dikenal dengan
istilah al-fitnah al-kubra (fitnah
besar). Peristiwa ini dianggap sebagai pangkal munculnya firqah-firqah dalam Islam.
Intrik politik tidak menjadi reda dengan meninggalnya Utsman bin
Affan. Bahkan pertikaian semakin membesar dengan terjadinya perang Jamal (pasukan khalifah Ali bin Abi
Ṭālib melawan pasukan ‘Aisyah) dan perang Ṣiffin (pasukan khalifah Ali bin Abi
Ṭālib melawan pasukan Mu’awiyah bin Abi Ṣufyān). Perang Jamal dapat
diselesaikan Khalifah Ali bin Abi Ṭālib dengan baik. Namun upaya damai yang
ditempuh untuk mengakhiri perang Ṣiffin melalui upaya perundingan/ tahkīm justru membuat umat Islam
terpecah menjadi beberapa golongan. Kelompok Ali bin Abi Ṭālib terpecah menjadi dua golongan. Pertama, golongan yang tetap setia
kepada Ali bin Abi Ṭālib, dan inilah yang menjadi embrio kelompok Syi’ah. Kedua, golongan yang memisahkan
diri dari pasukan Ali bin Abi Ṭālib, dan inilah yang kemudian dikenal dengan firqah Khawārij. Di luar Syi’ah dan
Khawārij, ada golongan pendukung Mu’awiyah bin Abu Ṣufyān. Pada masa ini, tema
utama perdebatan para mutakallimīn adalah
tentang hukum orang mukmin yang melakukan dosa
besar.
3.
Aqidah Islam Pada Masa Bani Umayyah
Pada masa ini, perdebatan di bidang aqidah sudah sangat tajam.
Kondisi ini terjadi karena kedaulatan Islam sudah mulai kokoh, sehingga umat
Islam semakin leluasa untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran yang sebelumnya
tidak disentuh. Masuknya pemeluk Islam yang berasal dari berbagai daerah yang
masih membawa alam pikiran dari keyakinan sebelum
memeluk Islam juga menjadi faktor
perkembangan
pemikiran kalam. Umat Islam mulai tertarik untuk mendiskusikan masalah qadar, begitu juga masalah istiṭa’ah.
Corak pemerintahan yang represif dari beberapa khalifah Bani
Umayyah menyebabkan sebagian umat Islam bersikap apatis. Mereka beranggapan
bahwa apa yang selama ini dialami oleh umat Islam pada hakikatnya sudah menjadi
suratan taqdir. Corak pemikiran yang
demikian ini sangat menguntungkan pihak pemerintahan. Maka paham ini
dimanfaatkan pemerintah untuk melegitimasi segala kebijakannya. Tokoh yang
memunculkan pemikiran ini adalah Jahm bin Shafwan. Inilah yang kemudian dikenal
dengan paham Jabariyah.
Pada akhirnya ada reaksi dari sebagian umat Islam yang
menginginkan adanya perubahan. Mereka menandingi paham Jabariyah dengan memunculkan
konsep teologi baru. Motor penggerak paham ini misalnya: Ma’bad
al-Juhani, Ghailan ad- Dimasyqi, dan Ja’ad bin Dirham. Mereka inilah tokoh
Qadariyah yang pertama.
Adapun sikap para sahabat yang masih hidup pada masa itu,
misalnya: Ibnu Umar, Jabir bin Abdullah, Anas bin Malik, Ibnu Abbas, dan Abu
Hurairah beserta sahabat lain, tidak mau terlibat dalam perdebatan tersebut dan
bahkan menolaknya.
Pada masa Daulah Umayyah ini juga muncul pemikir yang cerdas yaitu
Hasan al-Baṣri yang kemudian dijadikan rujukan oleh mayoritas Umat Islam dengan
pendapatnya bahwa orang mukmin yang melakukan dosa besar dipandangnya sebagai
orang fasik, tidak keluar dari golongan mu’min.
4.
Aqidah Islam Pada Masa Bani Abbasiyah
Pada masa ini, hubungan antara bangsa Arab dengan bangsa Ajam
mencapai puncaknya. Komunikasi yang intens ini melahirkan corak pemikiran yang
baru di dunia Islam. Gerakan
penerjemahan filsafat Yunani dan Persia gencar dilakukan, sehingga terjadi
transfer ilmu pengetahuan yang berasal dari luar Islam. Corak pemikiran baru
ini kemudian dikembangkan oleh para pemikir Islam dalam disiplin ilmu yang
dikenal dengan Ilmu kalam.
Para mutakallimin mulai menulis karya pemikiran mereka dalam
bentuk kitab- kitab yang sistematis. Misalnya Abu Hanifah menulis kitab al-Alim wa al- Muta’alim dan kitab al-Fiqhu al-Akbar karya Imam asy-Syafi’i
untuk mempertahankan ’aqidah Ahlus Sunnah.
Antusiasme para pemikir Ilmu kalam semakin berkembang pesat pada
masa pemerintahan al-Ma’mun. Ilmu Kalam menjadi disiplin ilmu yang mandiri yang
memisahkan diri al-fiqhu fi-ilmi (ilmu
hukum), yang sebelumnya masih termasuk dalam dalam al-Fiqhu al-Akbar.
Pada masa pemerintahan al-Ma’mun, al-Mu’tashim, dan al-Watsiq,
aliran Mu’tazilah dijadikan sebagai faham resmi kekhalifahan Bani Abasiyah,
sehingga para ulama yang berpengaruh diuji aqidahnya, yang dalam sejarah
dikenal dengan mihnah.
Para
ulama yang tidak sepaham dengan Mu’tazilah dalam hal kemakhlukan al-Qur’an maka
akan dijatuhi hukuman bahkan dijebloskan ke dalam penjara.
Tindakan al-Ma’mun yang menggunakan tangan besi tersebut berdampak
kepada hilangnya simpatik umat Islam terhadap Mu’tazilah, dan pada akhirnya
dijauhi oleh masyarakat. Dalam keadaan yang demikian itu muncullah Abu Hasan
al-Asy’ari yang merupakan murid utama dari al-Jubbai al-Mu’tazili mengeluarkan
pemikiran garis tengah/wasathiyah dengan menggunakan dalil-dalil naqli dan aqli
untuk menopang argumentasi aqidahnya. Dan bersamaan itu. muncul tokoh Abu
Mansur al-Maturidi yang mempunyai corak pemikiran yang sama dengan Abu Hasan
al-Asy’ari
Faham aqidah yang dikembangkan oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu
Mansur al-Maturidi dapat tersebar luas ke berbagai daerah karena corak pemikirannya
yang wasathiyah dan dikembangkan oleh murid-muridnya. Di antara Ulama yang
mengembangkan pemikiran Abu Hasan al-Asy’ari adalah Abu Bakar al-Baqillani, Abu
Ishaq al-Isfarayini, Imamul Haramain al-Juwaini, dan al-Ghazali.
5.
Aqidah Islam Sesudah Bani Abbasiyah
Pada masa ini, paham Asy’ariyah dan Maturidiyah mengalami
perkembangan yang sangat pesat sehingga menjadi paham mayoritas umat Islam.
Corak pemikiran yang wasaṭiyah yang
mudah dipahami, dan mampu mengkolaborasikan antara dalil naqli/nash dan
pendekatan akal/filsafat menjadikan aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah menjadi
aliran yang banyak diikuti oleh umat Islam. Aliran ini kemudian dikenal dengan
sebutan ahlu al-sunnah wa al-jama’ah dan
menjadi paham mayoritas umat Islam.
Pada permulaan abad ke-8 H, muncul Taqiyyudin Ibnu Taimiyah di
Damaskus yang berusaha membongkar beberapa pemikiran Asy’ariyah yang
dianggapnya tidak murni bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadiś. Pemikiran Ibnu Taimiyah ini kemudian dikenal dengan gerakan Salafi. Pada perkembangan selanjutnya
muncul pemikir- pemikir Islam seperti Ibnul Qayyim al-Jauziyah, Jamaluddin
al-Afghani, Rasyid Ridha, Muhammad Abduh, dan Muhammad bin Abdul Wahab.
B.
Peristiwa tahkīm
Ali bin Abi Ṭālib menerima estafet kepemimpinan dalam situasi yang
sulit. Peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan menjadi beban yang sangat berat
untuk diselesaikan. Mu’awiyah yang merasa representasi keluarga Utsman bin
Affan mengajukan tuntutan agar Ali bin Abi Ṭālib memprioritaskan pengusutan
pembunuhan Utsman bin Affan. Sebenarnya Ali bin Abi Ṭālib sudah
bersungguh-sungguh berupaya membongkar kasus pembunuhan Utsman tersebut, tetapi
belum berhasil. Mu’awiyah bin Abi Ṣufyān tidak mau baiat kepada Ali bin Abi Ṭālib dan secara terang-terangan menolak kekhalifahannya.
Mu’awiyah bin Abi Ṣufyān, yang saat itu menjabat gubernur. di Syam menyusun kekuatan untuk melawan kekhalifahan
Ali bin Abi Ṭālib. Pada akhirnya bertempurlah dua kekuatan pasukan di Ṣiffin pada bulan Ṣafar 37 H/657 M.
Dalam pertempuran di Ṣiffin,
pasukan Ali bin Abi Ṭālib hampir mencapai kemenangan. ‘Amr bin ‘Ash dari pihak
Mu’awiyah yang mengamati pasukannya
semakin terpojok dan menuju kepada kekalahan maka mengajukan usul supaya
diadakan perundingan. Usulan tersebut pada awalnya diragukan ketulusannya oleh
Ali bin Abi Ṭālib. Namun pada akhirnya Ali bin Abi Ṭālib menerima ajakan damai
tersebut setelah didesak oleh sebagian pasukannya.
Daumatul Jandal adalah lokasi yang disepakati untuk dijadikan
tempat perundingan. Peristiwa perundingan antara pihak Ali bin Abi Ṭālib dan
pihak Mu’awiyah inilah kemudian dikenal dengan sebutan tahkīm/arbitrase. Masing-masing delegasi berjumlah 400 orang
(sebagian riyawat mengatakan 100 orang). Delegasi Ali bin Abi Ṭālib dipimpin
Abu Musa Al-Asy’ari, delegasi Mu’awiyah dipimpin ‘Amr bin ‘Ash. Dalam dialog
antara delegasi Ali bin Abi Ṭālib dan delegasi Mu’awiyah, dicapailah suatu
kesepakatan, bahwa untuk meredakan pertikaian maka Ali bin Abi Ṭālib dan
Mu’awiyah harus diturunkan dari jabatannya.
‘Amr bin ‘Ash meminta kepada Abu Musa al-Asy’ari untuk
menyampaikan hasil kesepakatan lebih dulu baru kemudian dirinya. Alasan yang
disampaikan oleh ‘Amr bin ‘Ash adalah
untuk menghormati Abu Musa al-Asy’ari karena lebih dulu masuk Islam dan usianyapun lebih tua. ‘Amr bin ‘Ash yang
mempersilakan lebih dahulu kepada Abu Musa al-Asy’ari untuk menyampaikan hasil
musyawarah tersebut, ternyata hanyalah sebuah strategi untuk memenangkan
diplomasi, yang tidak diantisipasi oleh Abu Musa al- Asy’ari. Lalu Abu Musa
menyampaikan hasil perundingan di Daumatal Jandal tersebut tanpa mempunyai
kecurigaan apapun kepada ‘Amr bin ‘Ash.
Sebelum Abu Musa al-Asy’ari menyampaikan pidatonya, Ibnu Abbas
yang merupakan salah satu delegasi dari pihak Ali bin Abi Ṭālib, mencoba
menasehati Abu Musa al-Asy’ari dengan mengatakan, “’Amr bin ’Ash telah
menipumu, jangan bersedia menyampaikan hasil kesepakatan sebelum ‘Amr bin ‘Ash
menyampaikan di depan seluruh delegasi!” Namun Abu Musa al-Asy’ari menolak
permintaan Ibnu Abbas. Dan berpidatolah Abu Musa al-Asy’ari: “Kami berdua
mencapai suatu kesepakatan, dan berdoa semoga Allah menjadikannya sebagai
kesepakatan yang mendamaikan umat”.
Lalu
di depan seluruh delegasi yang berjumlah sekitar 800 orang tersebut Abu Musa
al-Asy’ari melanjutkan pidatonya: “Kami
berdua telah mencapai kesepakatan, yang kami nilai sebagai kesepakatan yang
terbaik untuk umat, yaitu masing-masing dari kami berdua lebih dahulu akan
mencopot Ali bin Abi Ṭālib dan Mu’awiyah dari jabatannya. Setelah itu,
menyerahkan kepada umat Islam untuk memilih khalifah yang mereka sukai. Dengan
ini, saya menyatakan telah mencopot Ali bin Abi Ṭālib sebagai khalifah”.
Dan
seperti yang diduga Ibnu Abbas, ketika ‘Amr bin ‘Ash berbicara di depan semua
delegasi, dia berkata, “Kalian telah
mendengarkan sendiri, Abu Musa al-Asy’ari
telah mencopot Ali bin Abi Ṭālib , dan saya sendiri juga ikut
mencopotnya seperti yang dilakukan Abu Musa al-Asy’ari. Dengan demikian, dan
mulai saat ini juga, saya nyatakan bahwa Mu’awiyah adalah khalifah, pemimpin
umat. Mu’awiyah adalah pelanjut kekuasaan Utsman bin Affan dan lebih berhak menggantikannya”.
Mendengar
pernyataan ‘Amr bin ‘Ash tersebut, Ibnu Abbas langsung membentak Abu Musa
al-Asy’ari, yang menjawab “Saya mau
bilang apa lagi, tidak ada yang bisa saya lakukan, ‘Amr bin ‘Ash telah
menipuku", dan kemudian mulai mencaci dengan mengatakan, “Wahai ‘Amr bin ‘Ash, celaka kamu, kamu
telah menipu dan berbuat jahat”.
Bisa dibayangkan bagaimana kacaunya dan gaduhnya suasana di
Daumatul Jandal pada saat itu. Seluruh pendukung Ali bin Abi Ṭālib tentu sangat
kecewa. Sebaliknya, kubu Mu’awiyah merasa senang dan bersuka ria. Setelah
kejadian aneh dan kacau itu, Abu Musa al-Asy’ari meninggalkan kota Daumatul
Jandal menuju Makkah. Sementara ‘Amr bin ‘Ash dan anggota delegasinya
meninggalkan Daumatul Jandal untuk menemui dan memberitahu Mu’awiyah tentang
hasil tahkīm dan sekaligus mengucapkan selamat kepada
Mu’awiyah sebagai khalifah. Dan inilah awal kekuasaan Dinasti Umayyah di
Damaskus. Sementara itu Ibnu Abbas menemui Ali bin Abi Ṭālib untuk memberitahu hasil
pertemuan tahkīm.
Dampak dari peristiwa tahkīm
tersebut, maka umat Islam terpecah menjadi tiga faksi, yaitu:
1. Kelompok yang
tetap setia kepada Ali bin Abi Ṭālib, yang kemudian menjadi embrio kelompok Syi’ah.
2. Pecahan kelompok
Ali bin Abi Ṭālib, yang kemudian dikenal
dengan sebutan
Khawārij.
3.
Kelompok yang mendukung Mu’awiyah bin Abi Ṣufyān.
Pada awalnya, aliran Khawārij hanya memperdebatkan persoalan
politik, namun kemudian menjalar ke persoalan teologi/akidah. Misalnya sikap
mereka terhadap Utsman, Ali bin Abi
Ṭālib dan Mu’awiyah yang dinilainya sebagai kafir karena dianggap
mencampuradukkan antara yang benar (haq)
dengan yang palsu (bāṭil). Karena itu
mereka merencanakan untuk membunuh Ali bin Abi Ṭālib, Mu’awiyah bin Abi Ṣufyān,
dan ‘Amr bin ‘Ash .
Rencana pembunuhan tersebut dirancang dengan matang. Ibnu Muljam
ditugaskan untuk membunuh Ali bin Abi Ṭālib di Kufah. Hajjaj bin Abdullah
ditugaskan untuk membunuh Mu’awiyah di Damaskus. ‘Amr bin Bakar ditugaskan
untuk membunuh ‘Amr bin ‘Ash di Mesir. Namun pada akhirnya yang berhasil
dibunuh hanyalah Ali bin Abi Ṭālib. Sedangkan Mu’awiyah hanya mengalami
luka-luka, dan ‘Amr bin ‘Ash selamat sepenuhnya, karena tidak ke Masjid, dan
hanya berhasil membunuh Kharijah yang dikira ‘Amr bin ‘Ash kerena kemiripan rupanya.
klick Uh di bawah ini
Ulangan harian