Sabtu, 31 Juli 2021

SKI IX MTs

 Ahad, 1 Agustus 2021

KERAJAAN- KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA


Kerajaan Samudera Pasai

 


                        Pasai didirikan pada abad ke-11 oleh Meurah Khair. Kerajaan ini terletak dipesisir Timur Laut Aceh. Kerajaan ini merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia. Pendiri dan raja pertama Kerajaan Samudra Pasai adalah Meurah Khair. Ia bergelar Maharaja Mahmud Syah (1042-1078). Pengganti Meurah Khair adalah Maharaja Mansyur Syah dari tahun 1078-1133. Pengganti Maharaja Mansyur Syah adalah Maharaja Ghiyasyuddin Syah dari tahun 1133-1155.

            Raja Kerajaan Samudra Pasai berikutnya adalah Meurah Noe yang bergelar Maharaja             Nuruddin berkuasa dari tahun1155-1210. Raja ini dikenal juga dengan sebutan       Tengku Samudra atau Sulthan Nazimuddin Al-Kamil. Sultan ini sebenarnya berasal    dari Mesir yang ditugaskan sebagai laksamana untuk merebut pelabuhan di Gujarat.    Raja ini tidak memiliki keturunan sehingga pada saat wafat, kerajaan Samudra Pasai   dilanda kekacauan karena perebutan kekuasaan. Meurah Silu bergelar Sultan Malik-al Saleh (1285-1297). Meurah Silu adalah keturunan Raja Perlak (sekarang Malaysia) yang mendirikan dinasti kedua kerajaan Samudra Pasai.

            Pada masa pemerintahannya, system pemerintahan kerajaan dan angkatan perang laut dan darat sudah terstruktur rapi. Kerajaan mengalami kemakmuran, terutama setelah Pelabuhan Pasai dibuka. Hubungan Kerajaan Samudra Pasai dan Perlak berjalan           harmonis. Meurah Silu memperkokoh hubungan ini dengan menikahi putri Ganggang             Sari, anak Raja Perlak. Meurah Silu berhasil memperkuat pengaruh Kerajaan      Samudra Pasai di pantai timur Aceh dan berkembang menjadi kerajaan perdagangan        yang kuat di Selat Malaka. Raja-raja Samudra Pasai selanjutnya adalah Sultan Muhammad Malik Zahir (1297-1326), Sultan Mahmud Malik Zahir (1326-1345), Sultan Manshur Malik Zahir (1345-1346), dan Sultan Ahmad Malik Zahir (1346-1383). Raja selanjutnya adalah Sultan Zainal Abidin (1383-1405). Pada masa         pemerintahannya, kekuasaan kerajaan meliputi daerah Kedah di Semenanjung Malaya. Sultan Zainal Abidin sangat aktif menyebarkan pengaruh Islam kepulau Jawa dan Sulawesi dengan mengirimkan ahli-ahli dakwah, seperti Maulana Malik          Ibrahim dan Maulana Ishak. Kerajaan Aceh berdiri menjelang keruntuhan Samudera Pasai.        Sebagaimana tercatat dalam sejarah, pada tahun 1360 M, Samudera Pasai ditaklukkan oleh Majaphit, dan sejak saat itu, kerajaan Pasai terus mengalami kemudunduran. Diperkirakan, menjelang berakhirnya abad ke-14 M, kerajaan Aceh Darussalam telah berdiri dengan penguasa pertama Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil Awal 913 H (1511 M).

 

 Kerajaan Aceh

Pada awalnya, wilayah kerajaan Aceh ini hanya mencakup Banda Aceh dan Aceh Besar yang dipimpin oleh ayah Ali Mughayat Syah. Ketika Mughayat Syah naih tahta menggantikan ayahnya, ia berhasil memperkuat kekuatan dan mempersatukan wilayah Aceh dalam kekuasaannya, termasuk menaklukkan kerajaan Pasai. Saat itu, sekitar tahun 1511 M, kerajaan-kerajaan kecil yang terdapat di Aceh dan pesisir timur Sumatera seperti Peurelak (di Aceh Timur), Pedir (di Pidie), Daya (Aceh Barat Daya) dan Aru (di Sumatera Utara) sudah berada di bawah pengaruh kolonial Portugis. Mughayat Syah dikenal sangat anti pada Portugis, karena itu, untuk menghambat pengaruh Portugis, kerajaan-kerajaan kecil tersebut kemudian ia taklukkan dan masukkan ke dalam wilayah kerajaannya. Sejak saat itu, kerajaan Aceh lebih dikenal dengan nama Aceh Darussalam dengan wilayah yang luas, hasil dari penaklukan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya.

Sejarah mencatat bahwa, usaha Mughayat Syah untuk mengusir Portugis dari seluruh bumi Aceh dengan menaklukkan kerajaan kerajaan kecil yang sudah berada di bawah Portugis berjalan lancar. Secara berurutan, Portugis yang berada di daerah Daya ia gempur dan berhasil ia kalahkan. Ketika Portugis mundur ke Pidie, Mughayat juga menggempur Pidie, sehingga Portugis terpaksa mundur ke Pasai. Mughayat kemudian melanjutkan gempurannya dan berhasil merebut benteng Portugis di Pasai. Dengan jatuhnya Pasai pada tahun 1524 M, , Aceh Darussalam menjadi satu-satunya kerajaan yang memiliki pengaruh besar di kawasan tersebut. Kemenangan yang berturut-turut ini membawa keuntungan yang luar biasa, terutama dari aspek persenjataan. Portugis yang kewalahan menghadapi serangan Aceh banyak meninggalkan persenjataan, karena memang tidak sempat mereka bawa dalam gerak mundur pasukan. Senjata-senjata inilah yang digunakan kembali oleh pasukan Mughayat untuk menggempur Portugis.

 

Ketika benteng di Pasai telah dikuasai Aceh, Portugis mundur ke Peurelak. Namun,pasukan Aceh tidak memberikan kesempatan sama sekali pada Portugis. Peurelak kemudian juga diserang, sehingga Portugis mundur ke Aru. Tak berapa lama, Aru juga berhasil direbut oleh Aceh hingga akhirnya Portugis mundur ke Malaka. Sultan Iskandar Muda Dalam sejarahnya, Aceh Darussalam mencapai masa kejayaan di masa Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1590 1636). Pada masa itu, Aceh merupakan salah satu pusat perdagangan yang sangat ramai di Asia Tenggara. Kerajaan Aceh pada masa itu juga memiliki hubungan diplomatik dengan dinasti Usmani di Turki, Inggris dan Belanda. Pada masa Iskandar Muda, Aceh pernah mengirim utusan ke Turki Usmani dengan membawa hadiah. Kunjungan ini diterima oleh Khalifah Turki Usmani dan ia mengirim hadiah balasan berupa sebuah meriam dan penasehat militer untuk membantu memperkuat angkatan perang Aceh. Wilayah kekuasaan Aceh mencapi Pariaman wilayah pesisir Sumatra Barat, Perak diMalaka yang secara efektif bisa direbut dari portugis tahun 1575.

Ulangan Harian Ski 9MTs


Jumat, 30 Juli 2021

Aqidah Akhlak XI MA

 Sabtu,31 Juli 2021


Aliran aliran ilmu kalam

Aliran Khawārij

1.  Sejarah Khawārij

Istilah Khawārij berasal dari Bahasa Arab “khawārij”, yang berarti mereka yang keluar. Nama ini digunakan untuk memberikan atribut bagi pengikut Ali bin  Abi Ṭālib yang keluar dari golongannya dan kemudian  membentuk  kelompok sendiri. Penamaan terhadap kelompok yang keluar dari pasukan Ali bin Abi Ṭālib bukanlah julukan yang diberikan dari luar kelompoknya saja, tetapi mereka juga menamakan diri dengan sebutan Khawārij dengan pengertian orang-orang yang keluar pergi perang untuk menegakkan kebenaran

Nama lain Khawārij adalah harūriyah yang dinisbahkan kepada perkataan harur, yaitu nama sebuah desa yang terletak di kota Kufah di Irak, dimana kaum Khawārij yang berjumlah 12.000 orang bertempat sesudah memisahkan diri dari pasukan Ali. Di sini mereka memilih Abdullāh bin Wahab al-Rasyidi menjadi imam sebagai ganti Ali bin Abi Ṭālib.

Rekam jejak kaum Khawārij telah ada sejak zaman Nabi Muhammad Saw. Diriwayatkan dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri ra, ia berkata: Ketika kami berada di sisi Rasulullah Saw. dan beliau sedang membagi-bagi (harta), datanglah Dzul Khuwaisirah dari Bani Tamim kepada beliau, ia berkata: “Wahai Rasulullah, berbuat adillah!” Rasulullah Saw. pun bersabda: “Celakalah engkau! Siapa lagi yang berbuat adil jika aku tidak berbuat adil? Benar-benar merugi jika aku tidak berbuat adil.”

Maka Umar bin Khaṭab ra. berkata: “Wahai Rasulullah, ijinkanlah aku untuk memenggal lehernya!” Rasulullah berkata: “Biarkanlah ia, sesungguhnya ia akan mempunyai pengikut yang salah seorang dari kalian dinilai bahwa salat dan puasanya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan salat dan puasa mereka, mereka selalu membaca al-Qur’an namun tidaklah melewati kerongkongan mereka, mereka keluar dari Islam sebagaimana keluarnya anak panah dari ar-ramiyyah, dilihat nashl-nya (besi pada ujung anak panah) maka tidak didapati bekasnya. Kemudian dilihat rishaf- nya (tempat masuk nashl pada anak panah) maka tidak didapati bekasnya, kemudian dilihat dari nadhi-nya (batang anak panah) maka tidak didapati bekasnya, kemudian dilihat qudzadz-nya (bulu-bulu yang ada ada anak panah) maka tidak didapati pula bekasnya. Anak panah itu benar-benar dengan cepat melewati lambung dan darah hewan buruan. Ciri-cirinya: di tengah-tengan mereka; ada seorang laki-laki hitam, salah satu lengannya seperti payu dara wanita atau seperti daging yang bergoyang-goyang, mereka akan muncul di saat terjadi perpecahan di antara kaum muslimin.”

Timbul-tenggelamnya Khawārij juga dapat dilacak pada akhir masa pemerintahan Utsman bin Affan. Dr. Saleh bin Fauzan al-Fauzan menyatakan: “Mereka adalah orang-orang yang memberontak di akhir masa pemerintahan Utsman

bin Affan yang mengakibatkan terbunuhnya Utsman bin Affan”. Setelah pemerintahan dipegang oleh Ali bin Abi Ṭalib, mereka juga memberontak dengan dalih, pemerintahan Ali telah menyalahi hukum yang dibuat oleh Allah. Dalam perkembangan selanjutnya, kelompok Khawārij selalu memberontak kepada pemerintahan yang sah. Hal ini sesuai dengan salah satu doktrin politiknya, yaitu memberontak terhadap pemerintah dan memisahkan diri dari jama’ah muslimin merupakan bagian dari agama.

As-Sahrastani berkata: “Siapa saja yang keluar dari ketaatan terhadap pemimpin yang sah, yang telah disepakati, maka ia dinamakan khariji (seorang khawārij), baik keluarnya di masa sahabat terhadap al-Khulafa ar-Rasyidin atau kepada pemimpin setelah mereka di masa tabi’in, dan juga terhadap pemimpin kaum muslimin di setiap masa.”

Al-Imam an-Nawawi berkata: “Dinamakan Khawārij dikarenakan keluarnya mereka dari jama’ah kaum muslimin. Dikatakan pula karena keluarnya mereka dari jalan (manhaj) jamaah kaum muslimin, dan dikatakan pula karena sabda Rasulullah Saw. .: “Akan keluar dari diri orang ini…” (HR. Muslim)

2. Aliran Syi’ah

Sejarah Syi’ah

Syi’ah menurut bahasa berarti sahabat atau pengikut. Dalam kajian ilmu kalam, kata syi’ah lebih spesifik ditujukan kepada orang-orang yang menjadi pengikut atau pendukung Ali bin Abi Ṭālib. Menurut Macdonald,  para pendukung Ali ini tidak  mau menerima penamaan diri mereka dengan Syi’ah sebagai suatu golongan atau sekte, kaum sunni yang memberi nama Syi’ah kepada mereka itu sebagai suatu ejekan. Tetapi menurut Watt, penamaan Syi’ah terhadap para pendukung dan pengikut Ali itu bukanlah diciptakan oleh lawan-lawan mereka, namun oleh mereka sendiri.

Menurut As-Sahrastani, Syi’ah adalah nama kelompok bagi mereka yang menjadi pengikut (syaya’u) Ali bin Abi Ṭālib, dan berpendirian bahwa keimaman/kekhalifahan itu berdasarkan pengangkatan dan pendelegasian (nash- washiyah) baik dilakukan secara terbuka maupun secara sembunyi-sembunyi atau rahasia, dan mereka yang percaya bahwa keimaman itu tidaklah terlepas dari anak keturunan Ali bin Abi Ṭālib.

Munculnya aliran Syi’ah tidak dapat dipisahkan dari tokoh kontroversial yang bernama Abdullāh Ibnu Saba’. Abdullāh Ibnu Saba’ adalah seorang pendeta Yahudi berasal dari Yaman yang pura-pura masuk Islam. Sebagian ahli sejarah berpendapat

bahwa Abdullāh Ibnu Saba’ ini masuk Islam dengan tujuan hendak merusak Islam dari dalam karena mereka tidak sanggup mengacaukan dari luar.

Propaganda yang pertama kali dilancarkan oleh Abdullāh Ibnu Saba’ adalah dengan cara menyebarkan fitnah tehadap Khalifah Utsman bin Affan dan menyanjung-nyanjung Ali bin Abi Ṭālib secara berlebih-lebihan. Propaganda ini mendapatkan sambutan dari sebagian masyarakat Madinah, Mesir, Bashrah, dll. Dia sangat berani membuat hadiś palsu yang bertujuan mengagung-agungkan Ali bin Abi Ṭālib dan merendahkan Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khaṭab, dan Utsman bin Affan. Di antara propaganda Abdullāh Ibnu Saba’ adalah:

a.       al-Wishoyah

Arti al-wishoyah adalah wasiat. Nabi Muhammad Saw. berwasiat supaya khalifah (imam) sesudah beliau adalah Ali bin Abi Ṭālib, sehingga beliau diberi gelar al-washiy (orang yang diberi wasiat).

b.      Ar-Raj’ah

Arti ar-raj’ah ialah kembali. Ibnu Saba’ menyampaikan bahwa Nabi Muhammad Saw. tidak boleh kalah dengan Nabi Isa As. Kalau Nabi Isa As. akan kembali pada akhir zaman untuk menegakkan keadilan, maka Nabi Muhammad Saw. lebih patut untuk kembali. Ali bin Abi Ṭālib juga akan kembali di akhir zaman untuk menegakkan keadilan. Ia tidak percaya bahwa Ali bin Abi Ṭālib telah mati terbunuh tetapi masih hidup.

c.       Ketuhanan Ali bin Abi Ṭālib

Ibnu Saba’ juga mempropagandakan paham bahwa dalam tubuh Ali bin Abi Ṭālib bersemayam unsur ketuhanan. Oleh karena itu Ali bin Abi Ṭālib mengetahui segala yang gaib , dan selalu menang dalam peperangan melawan orang kafir, suara petir adalah suara Ali bin Abi Ṭālib , dan kilat adalah senyumannya.

 

3. Aliran Murji’ah

Sejarah Murji’ah

Kata murji’ah berasal dari bahasa Arab arja’a yang artinya menunda. Aliran ini disebut Murji’ah karena mereka menunda menghukumi persoalan konflik politik antara Ali bin Abi Ṭālib, Mu’awiyah bin Abi Ṣufyān, dan Khawārij sampai pada hari perhitungan di akhirat nanti. Karena itu mereka tidak ingin mengeluarkan pendapat tentang siapa yang benar dan siapa yang salah di antara ketiga golongan tersebut.

Murji’ah adalah salah satu aliran kalam yang muncul pada abad pertama hijriah. Pendirinya tidak diketahui dengan pasti, tetapi Sahrastani menyebutkan dalam bukunya al-Milal wa an-Nihal, bahwa orang yang pertama membawa paham Murji’ah adalah Gailan ad-Dimasyqi.

Di antara tokoh Murji’ah yang muncul pada abad pertama hijriyah adalah: Abu Hasan ash-Sholihi, Yunus bin an-Namiri, Ubaid al-Muktaib, Bisyar al-Marisi, Muhammad bin Karam. Aliran ini muncul sebagai reaksi dari beberapa paham yang ada pada saat itu, misalnya:

a.       Pendapat Syi’ah yang menyalahkan bahkan mengkafirkan orang-orang yang

dianggap merebut jabatan khalifah Ali bin Abi Ṭālib .

b.      Pendapat Khawārij yang menghukum kafir Mu’awiyah bin Abi Ṣufyān dan pendukungnya, karena merebut kekuasaan yang sah yaitu Ali bin Abi Ṭālib, begitu juga mengkafirkan Ali bin Abi Ṭālib dan pendukungnya karena menerima Tahkīm dalam perang siffin.

c.       Pendapat pengikut Mu’awiyah yang menganggap bahwa Ali bin Abi Ṭālib

terlibat dalam konspirasi pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan.

d.      Pendapat sebagian pengikut Ali bin Abi Ṭālib yang beranggapan bahwa Siti ‘Aisyah, Thalhah, Zubair dan siapapun yang terlibat dalam perang jamal adalah salah.

Pada awalnya kaum Murji’ah hanya terlibat dalam perdebatan di bidang siasah, politik dan khilafah saja, tetapi dalam perkembangannya juga terlibat dalam bidang teologi Islam.

Tokoh-tokoh lain yang lahir pada masa itu adalah: Hasan bin Bilal al-Muzni, Abu salat as-Samman (w. 152 H), Tsaubah, Dhirar, bin Umar. Sedangkan penyair Murji’ah yang terkenal pada masa Daulah Umaayyah adalah Tsabit bin Quthanah.


Ulangan harian Aqidah akhlaq XI MA

Aqidah Akhlak XII MA

 Sabtu. 31 Juli 202

ASMAUL HUSNAH

 



Assalamualaikum Wr Wb

Selamat pagi anak anak semoga semua dalam keadaan sehat wal afiat
materi daring hari ini tentang Asmaul husna Al Habib dan Al Hadi
                                      
Kemudian klick tugas dibawah ini👇


Selamat mengerjakan

Rabu, 28 Juli 2021

SKI IX MA

 Kamis, 29 Juli 2021

Peradaban islam pada masa dinasti Abbasiyah







untuk materi daring hari ini kamu lihat materi minggu yang lalu kemudian kerjakan tugas dibawah ini

UH SKI XIMA


SKI XII MA

Kamis, 29 Juli 2013 

STRATEGI DAKWA ISLAM DI INDONESIA




Asslamualaikum Wr Wb
Selamat pagi anak anak semoga hari ini semua dalam keadaan sehat wal afiat
Materi daring hari tentang strategi dakwa islam di indonesia
Buka dan baca LKS kalian Bab II hal 16 kemudia kerjakan tugas dibawah ini





Selamat mengerjakan






Jumat, 23 Juli 2021

Aqidah akhlaq XI MA



 Assalamu'alaikum Wr wb

Semangat Pagi anak anak 💪🥰

Alhamdulillah hari ini makin sehat makin bahagia

Untuk materi daring hari ini tentang aliran ilmu kalam

Tolong buka LKS kalian lalu baca bab I kemudian kerjakan Uji kompetensi 1/B hal 11 no 1-5 

Hasil kerja angkat kalian kirim k WA sy


Aqidah akhlak XII MA

ASMAUL HUSNAH

 



Assalamualaikum Wr Wb

Selamat pagi anak anak semoga semua dalam keadaan sehat wal afiat
materi daring hari ini tentang Asmaul husna
buka LKS kalian bab I lalu baca kemudia kerjakan Uji kompetensi I/B hal 10
hasil kerjaan kalian kirim ke WA Saya 


Selamat mengerjakan

Jumat, 16 Juli 2021

Aqidah Akhlaq XI MA

 Sabtu, 17 Juli 2021

                                  Munculnya aliran ilmu kalam

A.      Sejarah Ilmu Kalam

1.     Aqidah Islam Pada Masa Nabi

Ketika Nabi Muhammad Saw. masih hidup, umat Islam masih bersatu-padu, belum ada aliran-aliran/firqah. Apabila terjadi perbedaan pemahaman terhadap suatu persoalan, maka para sahabat langsung berkonsultasi kepada Nabi. Dengan petunjuk Nabi tersebut, maka segala persoalan dapat diselesaikan dan para sahabat mematuhinya.

Semangat persatuan sangat dijaga oleh para sahabat, karena selalu berpegang

kepada firman Al: “Dan taatilah kamu sekalian kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, karena semua itu akan menyebabkan kalian gagal”. (QS. Al-Anfâl [8]: 46)

 

Para sahabat dilarang oleh Rasulullah Saw. memperdebatkan sesuatu yang dapat memicu perpecahan, misalnya tentang qadar. Sehingga pada masa ini, corak aqidah bersifat monopolitik, yaitu hanya ada satu bentuk ajaran tanpa perbedaan dan persanggahan dari para sahabat. Para sahabat yang mendatangi Nabi bukan untuk memperdebatkan ajaran yang dibawanya, tetapi menanyakan persoalan-persoalan yang belum mereka pahami.

Embrio perpecahan baru muncul setelah Nabi Muhammad Saw. wafat. Mereka berselisih tentang siapa yang paling berhak untuk menggantikan kepemimpinan umat

Islam setelah Nabi. Kaum Anshor yang dipimpin Sa’ad bin Ubadah berembuk di Tsaqifah bani Sa’idah untuk membicarakan penggantian kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. yang kemudian menyusul hadir Abu Bakar ash-Ṣiddiq, Umar bin Khaṭab dan Abu Ubaidah bin Jarrah dari kalangan Muhajirin. Pada akhirnya dicapailah kesepakatan untuk mengangkat Abu Bakar ash-Ṣiddiq sebagai khalifah.

 

2.     Aqidah Islam Pada Masa Khulafa ar-Rasyidin

Pada masa Khulafa ar-Rasyidin, khususnya pada masa pemerintahan Abu Bakar (11-13 H), dan Umar bin Khattab (13-23 H) persatuan umat Islam masih bisa dipertahankan, biarpun pada awal masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Ṣiddiq sempat muncul beberapa nabi palsu dan keengganan sebagian umat Islam membayar zakat, namun semua permasalahan tersebut dapat diatasi oleh Abu Bakar ash-Ṣiddiq.

Benih-benih perpecahan mulai muncul pada akhir masa pemerintahan Utsman  bin Affan, yaitu ketika Khalifah Utsman bin Affan (23-35 H) melakukan reformasi di bidang administratur pemerintahan. Kebijakan yang diambil Khalifah Utsman tersebut berdampak kepada situasi politik yang tidak stabil.

Situasi politik yang tidak stabil pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan mencapai puncaknya dengan terbunuhnya khalifah ketiga tersebut. Peristiwa yang menyedihkan dalam sejarah Islam ini dikenal dengan istilah al-fitnah al-kubra (fitnah besar). Peristiwa ini dianggap sebagai pangkal munculnya firqah-firqah dalam Islam.

Intrik politik tidak menjadi reda dengan meninggalnya Utsman bin Affan. Bahkan pertikaian semakin membesar dengan terjadinya perang Jamal (pasukan khalifah Ali bin Abi Ṭālib melawan pasukan ‘Aisyah) dan perang Ṣiffin (pasukan khalifah Ali bin Abi Ṭālib melawan pasukan Mu’awiyah bin Abi Ṣufyān). Perang Jamal dapat diselesaikan Khalifah Ali bin Abi Ṭālib dengan baik. Namun upaya damai yang ditempuh untuk mengakhiri perang Ṣiffin melalui upaya perundingan/ tahkīm justru membuat umat Islam terpecah menjadi beberapa golongan. Kelompok Ali bin Abi  Ṭālib terpecah menjadi dua golongan. Pertama, golongan yang tetap setia kepada Ali bin Abi Ṭālib, dan inilah yang menjadi embrio kelompok Syi’ah. Kedua, golongan yang memisahkan diri dari pasukan Ali bin Abi Ṭālib, dan inilah yang kemudian dikenal dengan firqah Khawārij. Di luar Syi’ah dan Khawārij, ada golongan pendukung Mu’awiyah bin Abu Ṣufyān. Pada masa ini, tema utama perdebatan para mutakallimīn adalah tentang hukum orang mukmin yang melakukan dosa besar.

 

3.     Aqidah Islam Pada Masa Bani Umayyah

Pada masa ini, perdebatan di bidang aqidah sudah sangat tajam. Kondisi ini terjadi karena kedaulatan Islam sudah mulai kokoh, sehingga umat Islam semakin leluasa untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran yang sebelumnya tidak disentuh. Masuknya pemeluk Islam yang berasal dari berbagai daerah yang masih membawa alam pikiran dari keyakinan sebelum memeluk Islam juga menjadi faktor

perkembangan pemikiran kalam. Umat Islam mulai tertarik untuk mendiskusikan masalah qadar, begitu juga masalah istiṭa’ah.

Corak pemerintahan yang represif dari beberapa khalifah Bani Umayyah menyebabkan sebagian umat Islam bersikap apatis. Mereka beranggapan bahwa apa yang selama ini dialami oleh umat Islam pada hakikatnya sudah menjadi suratan taqdir. Corak pemikiran yang demikian ini sangat menguntungkan pihak pemerintahan. Maka paham ini dimanfaatkan pemerintah untuk melegitimasi segala kebijakannya. Tokoh yang memunculkan pemikiran ini adalah Jahm bin Shafwan. Inilah yang kemudian dikenal dengan paham Jabariyah.

Pada akhirnya ada reaksi dari sebagian umat Islam yang menginginkan adanya perubahan. Mereka menandingi paham Jabariyah dengan  memunculkan  konsep teologi baru. Motor penggerak paham ini misalnya: Ma’bad al-Juhani, Ghailan ad- Dimasyqi, dan Ja’ad bin Dirham. Mereka inilah tokoh Qadariyah yang pertama.

Adapun sikap para sahabat yang masih hidup pada masa itu, misalnya: Ibnu Umar, Jabir bin Abdullah, Anas bin Malik, Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah beserta sahabat lain, tidak mau terlibat dalam perdebatan tersebut dan bahkan menolaknya.

Pada masa Daulah Umayyah ini juga muncul pemikir yang cerdas yaitu Hasan al-Baṣri yang kemudian dijadikan rujukan oleh mayoritas Umat Islam dengan pendapatnya bahwa orang mukmin yang melakukan dosa besar dipandangnya sebagai orang fasik, tidak keluar dari golongan mu’min.

 

4.     Aqidah Islam Pada Masa Bani Abbasiyah

Pada masa ini, hubungan antara bangsa Arab dengan bangsa Ajam mencapai puncaknya. Komunikasi yang intens ini melahirkan corak pemikiran yang baru  di dunia Islam. Gerakan penerjemahan filsafat Yunani dan Persia gencar dilakukan, sehingga terjadi transfer ilmu pengetahuan yang berasal dari luar Islam. Corak pemikiran baru ini kemudian dikembangkan oleh para pemikir Islam dalam disiplin ilmu yang dikenal dengan Ilmu kalam.

Para mutakallimin mulai menulis karya pemikiran mereka dalam bentuk kitab- kitab yang sistematis. Misalnya Abu Hanifah menulis kitab al-Alim wa al- Muta’alim dan kitab al-Fiqhu al-Akbar karya Imam asy-Syafi’i untuk mempertahankan ’aqidah Ahlus Sunnah.

Antusiasme para pemikir Ilmu kalam semakin berkembang pesat pada masa pemerintahan al-Ma’mun. Ilmu Kalam menjadi disiplin ilmu yang mandiri yang memisahkan diri al-fiqhu fi-ilmi (ilmu hukum), yang sebelumnya masih termasuk dalam dalam al-Fiqhu al-Akbar.

Pada masa pemerintahan al-Ma’mun, al-Mu’tashim, dan al-Watsiq, aliran Mu’tazilah dijadikan sebagai faham resmi kekhalifahan Bani Abasiyah, sehingga para ulama yang berpengaruh diuji aqidahnya, yang dalam sejarah dikenal dengan mihnah.

Para ulama yang tidak sepaham dengan Mu’tazilah dalam hal kemakhlukan al-Qur’an maka akan dijatuhi hukuman bahkan dijebloskan ke dalam penjara.

Tindakan al-Ma’mun yang menggunakan tangan besi tersebut berdampak kepada hilangnya simpatik umat Islam terhadap Mu’tazilah, dan pada akhirnya dijauhi oleh masyarakat. Dalam keadaan yang demikian itu muncullah Abu Hasan al-Asy’ari yang merupakan murid utama dari al-Jubbai al-Mu’tazili mengeluarkan pemikiran garis tengah/wasathiyah dengan menggunakan dalil-dalil naqli dan aqli untuk menopang argumentasi aqidahnya. Dan bersamaan itu. muncul tokoh Abu Mansur al-Maturidi yang mempunyai corak pemikiran yang sama dengan Abu Hasan al-Asy’ari

Faham aqidah yang dikembangkan oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi dapat tersebar luas ke berbagai daerah karena corak pemikirannya yang wasathiyah dan dikembangkan oleh murid-muridnya. Di antara Ulama yang mengembangkan pemikiran Abu Hasan al-Asy’ari adalah Abu Bakar al-Baqillani, Abu Ishaq al-Isfarayini, Imamul Haramain al-Juwaini, dan al-Ghazali.

 

5.          Aqidah Islam Sesudah Bani Abbasiyah

Pada masa ini, paham Asy’ariyah dan Maturidiyah mengalami perkembangan yang sangat pesat sehingga menjadi paham mayoritas umat Islam. Corak pemikiran yang wasaṭiyah yang mudah dipahami, dan mampu mengkolaborasikan antara dalil naqli/nash dan pendekatan akal/filsafat menjadikan aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah menjadi aliran yang banyak diikuti oleh umat Islam. Aliran ini kemudian dikenal dengan sebutan ahlu al-sunnah wa al-jama’ah dan menjadi paham mayoritas umat Islam.

Pada permulaan abad ke-8 H, muncul Taqiyyudin Ibnu Taimiyah di Damaskus yang berusaha membongkar beberapa pemikiran Asy’ariyah yang dianggapnya tidak murni bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadiś. Pemikiran Ibnu Taimiyah ini kemudian dikenal dengan gerakan Salafi. Pada perkembangan selanjutnya muncul pemikir- pemikir Islam seperti Ibnul Qayyim al-Jauziyah, Jamaluddin al-Afghani, Rasyid Ridha, Muhammad Abduh, dan Muhammad bin Abdul Wahab.

 

B.      Peristiwa tahkīm

Ali bin Abi Ṭālib menerima estafet kepemimpinan dalam situasi yang sulit. Peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan menjadi beban yang sangat berat untuk diselesaikan. Mu’awiyah yang merasa representasi keluarga Utsman bin Affan mengajukan tuntutan agar Ali bin Abi Ṭālib memprioritaskan pengusutan pembunuhan Utsman bin Affan. Sebenarnya Ali bin Abi Ṭālib sudah bersungguh-sungguh berupaya membongkar kasus pembunuhan Utsman tersebut, tetapi belum berhasil. Mu’awiyah bin Abi Ṣufyān tidak mau baiat kepada Ali bin Abi Ṭālib dan secara  terang-terangan menolak kekhalifahannya. Mu’awiyah bin Abi Ṣufyān, yang saat itu menjabat gubernur. di Syam menyusun kekuatan untuk melawan kekhalifahan Ali bin Abi Ṭālib. Pada akhirnya bertempurlah dua kekuatan pasukan di Ṣiffin pada bulan Ṣafar 37 H/657 M.

Dalam pertempuran di Ṣiffin, pasukan Ali bin Abi Ṭālib hampir mencapai kemenangan. ‘Amr bin ‘Ash dari pihak Mu’awiyah yang mengamati  pasukannya semakin terpojok dan menuju kepada kekalahan maka mengajukan usul supaya diadakan perundingan. Usulan tersebut pada awalnya diragukan ketulusannya oleh Ali bin Abi Ṭālib. Namun pada akhirnya Ali bin Abi Ṭālib menerima ajakan damai tersebut setelah didesak oleh sebagian pasukannya.

Daumatul Jandal adalah lokasi yang disepakati untuk dijadikan tempat perundingan. Peristiwa perundingan antara pihak Ali bin Abi Ṭālib dan pihak Mu’awiyah inilah kemudian dikenal dengan sebutan tahkīm/arbitrase. Masing-masing delegasi berjumlah 400 orang (sebagian riyawat mengatakan 100 orang). Delegasi Ali bin Abi Ṭālib dipimpin Abu Musa Al-Asy’ari, delegasi Mu’awiyah dipimpin ‘Amr bin ‘Ash. Dalam dialog antara delegasi Ali bin Abi Ṭālib dan delegasi Mu’awiyah, dicapailah suatu kesepakatan, bahwa untuk meredakan pertikaian maka Ali bin Abi Ṭālib dan Mu’awiyah harus diturunkan dari jabatannya.

‘Amr bin ‘Ash meminta kepada Abu Musa al-Asy’ari untuk menyampaikan hasil kesepakatan lebih dulu baru kemudian dirinya. Alasan yang disampaikan oleh ‘Amr bin ‘Ash adalah  untuk menghormati Abu Musa al-Asy’ari karena lebih dulu masuk Islam  dan usianyapun lebih tua. ‘Amr bin ‘Ash yang mempersilakan lebih dahulu kepada Abu Musa al-Asy’ari untuk menyampaikan hasil musyawarah tersebut, ternyata hanyalah sebuah strategi untuk memenangkan diplomasi, yang tidak diantisipasi oleh Abu Musa al- Asy’ari. Lalu Abu Musa menyampaikan hasil perundingan di Daumatal Jandal tersebut tanpa mempunyai kecurigaan apapun kepada ‘Amr bin ‘Ash.

Sebelum Abu Musa al-Asy’ari menyampaikan pidatonya, Ibnu Abbas yang merupakan salah satu delegasi dari pihak Ali bin Abi Ṭālib, mencoba menasehati Abu Musa al-Asy’ari dengan mengatakan, “’Amr bin ’Ash telah menipumu, jangan bersedia menyampaikan hasil kesepakatan sebelum ‘Amr bin ‘Ash menyampaikan di depan seluruh delegasi!” Namun Abu Musa al-Asy’ari menolak permintaan Ibnu Abbas. Dan berpidatolah Abu Musa al-Asy’ari: “Kami berdua mencapai suatu kesepakatan, dan berdoa semoga Allah menjadikannya sebagai kesepakatan yang mendamaikan umat”.

Lalu di depan seluruh delegasi yang berjumlah sekitar 800 orang tersebut Abu Musa al-Asy’ari melanjutkan pidatonya: “Kami berdua telah mencapai kesepakatan, yang kami nilai sebagai kesepakatan yang terbaik untuk umat, yaitu masing-masing dari kami berdua lebih dahulu akan mencopot Ali bin Abi Ṭālib dan Mu’awiyah dari jabatannya. Setelah itu, menyerahkan kepada umat Islam untuk memilih khalifah yang mereka sukai. Dengan ini, saya menyatakan telah mencopot Ali bin Abi Ṭālib sebagai khalifah”.

Dan seperti yang diduga Ibnu Abbas, ketika ‘Amr bin ‘Ash berbicara di depan semua delegasi, dia berkata, “Kalian telah mendengarkan sendiri, Abu Musa al-Asy’ari

telah mencopot Ali bin Abi Ṭālib , dan saya sendiri juga ikut mencopotnya seperti yang dilakukan Abu Musa al-Asy’ari. Dengan demikian, dan mulai saat ini juga, saya nyatakan bahwa Mu’awiyah adalah khalifah, pemimpin umat. Mu’awiyah adalah pelanjut kekuasaan Utsman bin Affan dan lebih berhak menggantikannya”.

Mendengar pernyataan ‘Amr bin ‘Ash tersebut, Ibnu Abbas langsung membentak Abu Musa al-Asy’ari, yang menjawab “Saya mau bilang apa lagi, tidak ada yang bisa saya lakukan, ‘Amr bin ‘Ash telah menipuku", dan kemudian mulai mencaci dengan mengatakan, “Wahai ‘Amr bin ‘Ash, celaka kamu, kamu telah menipu dan berbuat jahat”.

Bisa dibayangkan bagaimana kacaunya dan gaduhnya suasana di Daumatul Jandal pada saat itu. Seluruh pendukung Ali bin Abi Ṭālib tentu sangat kecewa. Sebaliknya, kubu Mu’awiyah merasa senang dan bersuka ria. Setelah kejadian aneh dan kacau itu, Abu Musa al-Asy’ari meninggalkan kota Daumatul Jandal menuju Makkah. Sementara ‘Amr bin ‘Ash dan anggota delegasinya meninggalkan Daumatul Jandal untuk menemui dan memberitahu Mu’awiyah  tentang  hasil  tahkīm  dan  sekaligus mengucapkan selamat kepada Mu’awiyah sebagai khalifah. Dan inilah awal kekuasaan Dinasti Umayyah di Damaskus. Sementara itu Ibnu Abbas menemui Ali bin Abi Ṭālib untuk memberitahu hasil pertemuan tahkīm.

Dampak dari peristiwa tahkīm tersebut, maka umat Islam terpecah menjadi tiga faksi, yaitu:

1.       Kelompok yang tetap setia kepada Ali bin Abi Ṭālib, yang kemudian menjadi embrio kelompok Syi’ah.

2.       Pecahan kelompok Ali bin Abi Ṭālib, yang kemudian dikenal dengan sebutan

Khawārij.

3.       Kelompok yang mendukung Mu’awiyah bin Abi Ṣufyān.

Pada awalnya, aliran Khawārij hanya memperdebatkan persoalan politik, namun kemudian menjalar ke persoalan teologi/akidah. Misalnya sikap mereka terhadap  Utsman, Ali bin Abi Ṭālib dan Mu’awiyah yang dinilainya sebagai kafir karena dianggap mencampuradukkan antara yang benar (haq) dengan yang palsu (bāṭil). Karena itu mereka merencanakan untuk membunuh Ali bin Abi Ṭālib, Mu’awiyah bin Abi Ṣufyān, dan ‘Amr bin ‘Ash .

Rencana pembunuhan tersebut dirancang dengan matang. Ibnu Muljam ditugaskan untuk membunuh Ali bin Abi Ṭālib di Kufah. Hajjaj bin Abdullah ditugaskan untuk membunuh Mu’awiyah di Damaskus. ‘Amr bin Bakar ditugaskan untuk membunuh ‘Amr bin ‘Ash di Mesir. Namun pada akhirnya yang berhasil dibunuh hanyalah Ali bin Abi Ṭālib. Sedangkan Mu’awiyah hanya mengalami luka-luka, dan ‘Amr bin ‘Ash selamat sepenuhnya, karena tidak ke Masjid, dan hanya berhasil membunuh Kharijah yang dikira ‘Amr bin ‘Ash kerena kemiripan rupanya.

klick Uh di bawah ini

Ulangan harian


Aqidah Akhlaq XII MA

 Sabtu, 17 Juli 2021

BAB I

CERMINAN DAN NILAI MULIA AL-ASMĀ` AL-USNA

Berbagai perilaku dapat kita lakukan sebagai cerminan dari al-Asmā` al-usna. Dengan al-Asmā` al-usna kita mengusahakan kebaikan sebagai cerminan atas-Nya. Al- Asmā` al-usna merupakan gabungan dari dua kata yaitu al-Asma` berarti nama-nama, merupakan jama’ taksīr dari kata ismun berarti nama dan al-usna berarti paling baik, merupakan wazan mubālaghah dari kata usnun berarti baik. Dengan demikian pengertian al- Asmā` al-usna adalah nama-nama yang paling baik yang Allah Swt. perkenalkan melalui al- āyāt al-qauliyyah-Nya

Pada pembahasan bab pertama ini, kita akan mendalami al-Afuww, al-Razzāq, al- Malik, al-Hasīb, al-Hādi, al-Khālik dan al-Hakīm beserta cerminan perilaku yang bisa diambil dari-Nya.

 

A.   Maha Pemaaf (Al-‘Afuww)

1.         Pengertian Al-‘Afuww

Nama al-‘Afuww merupakan nama ke-83 dari 99 al-Asmā` al-usnā. Kata al- ‘Afuww, terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf ‘ain, fa`, dan wauw. Maknanya yaitu meninggalkan sesuatu dan memintanya. Dari sini lahir kata ‘afwu yang berarti meninggalkan sanksi terhadap yang bersalah (memaafkan). Dalam beberapa kamus kata ‘afwu berarti menghapus, membinasakan dan mencabut akar sesuatu.

Kata al-‘Afuww berarti Allah Maha memafkan kesalahan hambanya. Pemaafan Allah tidak hanya tertuju pada mereka yang bersalah secara tidak sengaja atau melakukan kesalahan yang tidak diketahui, melainkan pemaafan secara universal diberikan kepada semua hamba-Nya bahkan sebelum mereka meminta maaf. Allah

Swt. berfirman Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antara kamu ketika terjadi

pertemuan (pertempuran) antara dua pasukan itu, sesungguhnya mereka digelincirkan oleh setan, disebabkan sebagian kesalahan (dosa) yang telah mereka perbuat (pada masa lampau), tetapi Allah benar-benar telah memaafkan mereka. Sungguh, Allah maha Pengampun, Maha Penyantun” (QS. Ali ‘Imrān [3]: 155)

Dalam al-Qur`an kata ‘afwu ditemukan ada 35 kali dengan berbagai bentuk dan makna. Dan kata ‘afwu ditemukan tiga kali yang merujuk kepada Allah.

2.Teladan dari nama baik Al-‘Afuww

a.    Meyakini bahwa Allah memaafkan kesalahan hambanya

b.    Perintah untuk menjadi manusia pemaaf dan penutup aib orang lain

 

B.      Maha Pemberi Rezeki (Ar-Razzāq)

1.         Pengertian Ar-Razzāq

Nama ar-Razzāq merupakan nama ke-18 dari 99 al-Asmā` al-usnā. Kata Ar- Razzāq terambil dari akar kata ra`, za`, dan qaf, berarti rezeki atau penghidupan. Dalam KBBI, rezeki berarti sesuatu yang dipakai untuk memelihara kehidupan, dapat berupa makanan, nafkah, dan hal-hal lain

Imam Ghazali menjelaskan kata ar-Razzāq adalah Dia yang menciptakan rezeki dan menciptakan yang memberi rezeki, serta Dia pula yang mengantarnya kepada mereka dan menciptakan sebab-sebab sehingga mereka dapat menikmatinya.

Dalam al-Qur`an, ayat-ayat yang menggunakan akar kata razaqa banyak ditemukan. Akan tetapi ayat yang mengandung kata ar-Razzāq hanya ditemukan pada Surah ad-Dzāriyāt [51]: 58:

“Sesungguhnya Allah adalah Ar-Razzāq (Maha Pemberi Rezeki) yang memiliki kekuatan yang kukuh”. (QS. ad-Dzāriyāt [51]: 58)

 

2.         Teladan dari sifat Ar-Razzāq

a.       Meyakini bahwa Allah menjamin rezeki setiap makhluk-Nya serta berusaha mendapatkan rezeki

Allah menjamin rezeki makhluknya dengan menjadikan bumi ini sebagai bahagian dari rezeki-Nya. Allah menjadikan bumi ini kaya akan sumber daya alam yang dapat dikelola oleh manusia. Oleh karena itu, kita harus jeli melihat peluang rezeki dalam bumi yang kaya ini. Agar jeli melihat peluang ini, kita harus melewati tiga syarat yaitu: 1) Berusaha dengan maksimal dengan cara yang baik;

2) Yakin bahwa keberhasilan akan diraih dengan usaha maksimal; 3) Memasrahkan diri atas hasil apapun yang telah didapatkan.

 

b.      Saling berbagi rezeki kepada makhluk lain

 

ALLAH maha Penguasa (Al-Malik)

3.         Pengertian Al-Malik

Nama al-Malik merupakan nama ke-18 dari 99 al-Asmā` al-usnā. Kata al- Malik secara umum diartikan raja atau penguasa. Kata al-Malik terdiri dari huruf mim, lam, dan kaf yang rangkaiannya mengandung arti kekuatan dan kesahihan. Imam al-Ghazali menjelaskan arti al-Malik ialah Dia yang tidak butuh pada sesuatu dan Dia adalah yang dibutuhkan. Dia adalah Penguasa dan Pemilik secara mutlak segala hal yang ada. Hasilnya, al-Malik memiliki kuasa atas pengendalian dan pemeliharaan kekuasaan-Nya.

Dalam al-Qur an, kata al-Malik terulang sebanyak lima kali. Dan dua

diantaranya dirangkaikan dengan kata aq dalam arti pasti dan sempurna yakni pada Surah Thāhā [20]: 114 dan Surah al-Mu`minūn [23]: 116. Allah berfirman:

“Maka Maha Tinggi Allah raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca al-Qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu,    dan    Katakanlah:    "Ya    Tuhanku,    tambahkanlah    kepadaku   ilmupengetahuan." (QS. Thāhā [20]: 114)

 

4.         Teladan dari nama baik Al-Malik

a.       Meyakini bahwa Allah Maha Menguasai segala kekuasaan

b.      Meminta izin kepada pemilik barang dan bertanggung jawab

Selain meminta izin kepada Allah, manusia diminta bertanggung jawab atas segala hal yang mereka lakukan lebih-lebih kepada orang yang dianugerahi kerajaan-Nya (dunia).

Raja (penerima amanat) di dunia pun dituntut untuk mengatur dan mengendalikan kehidupan di dunia dengan sebaik-baiknya. Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa raja yang hakiki yaitu, 1) Kerajaannya berupa kalbu dan wadah kalbunya, 2) Bala tentaranya ialah syahwat, amarah, dan nafsunya, 3) Rakyatnya adalah lidah, mata, tangan, dan seluruh anggota badannya.

 

Maha Mencukupi dan Maha Pembuat Perhitungan (Al-asīb)

5.         Pengertian Al-asīb

Nama al-asīb merupakan nama ke-41 dari 99 al-Asmā` al-usnā. Kata al- asīb berakar kata dari huruf a`, sin, dan ba` mempunyai arti menghitung dan mencukupkan. Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa al-asīb merupakan Dia yang mencukupi siapa yang mengandalkannya. Sifat ini tidak disandang kecuali Allah sendiri, karena Allah saja lah yang dapat mencukupi dan diandalkan oleh semua makhluk.

 

6.         Teladan dari nama baik Al-asīb

a.       Meyakini bahwa hanya Allah yang memberi kecukupan dan membuat perhitungan

b.      Mengevaluasi diri secara konsisten

Kerjakan Ulangan di bawah ini


Soal Tryout UAMNUBK MA

 soal aqidah  Soal Try out Aqidah Akhlak UAMNUBK MA