Jumat, 16 Juli 2021

Aqidah Akhlaq XI MA

 Sabtu, 17 Juli 2021

                                  Munculnya aliran ilmu kalam

A.      Sejarah Ilmu Kalam

1.     Aqidah Islam Pada Masa Nabi

Ketika Nabi Muhammad Saw. masih hidup, umat Islam masih bersatu-padu, belum ada aliran-aliran/firqah. Apabila terjadi perbedaan pemahaman terhadap suatu persoalan, maka para sahabat langsung berkonsultasi kepada Nabi. Dengan petunjuk Nabi tersebut, maka segala persoalan dapat diselesaikan dan para sahabat mematuhinya.

Semangat persatuan sangat dijaga oleh para sahabat, karena selalu berpegang

kepada firman Al: “Dan taatilah kamu sekalian kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, karena semua itu akan menyebabkan kalian gagal”. (QS. Al-Anfâl [8]: 46)

 

Para sahabat dilarang oleh Rasulullah Saw. memperdebatkan sesuatu yang dapat memicu perpecahan, misalnya tentang qadar. Sehingga pada masa ini, corak aqidah bersifat monopolitik, yaitu hanya ada satu bentuk ajaran tanpa perbedaan dan persanggahan dari para sahabat. Para sahabat yang mendatangi Nabi bukan untuk memperdebatkan ajaran yang dibawanya, tetapi menanyakan persoalan-persoalan yang belum mereka pahami.

Embrio perpecahan baru muncul setelah Nabi Muhammad Saw. wafat. Mereka berselisih tentang siapa yang paling berhak untuk menggantikan kepemimpinan umat

Islam setelah Nabi. Kaum Anshor yang dipimpin Sa’ad bin Ubadah berembuk di Tsaqifah bani Sa’idah untuk membicarakan penggantian kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. yang kemudian menyusul hadir Abu Bakar ash-Ṣiddiq, Umar bin Khaṭab dan Abu Ubaidah bin Jarrah dari kalangan Muhajirin. Pada akhirnya dicapailah kesepakatan untuk mengangkat Abu Bakar ash-Ṣiddiq sebagai khalifah.

 

2.     Aqidah Islam Pada Masa Khulafa ar-Rasyidin

Pada masa Khulafa ar-Rasyidin, khususnya pada masa pemerintahan Abu Bakar (11-13 H), dan Umar bin Khattab (13-23 H) persatuan umat Islam masih bisa dipertahankan, biarpun pada awal masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Ṣiddiq sempat muncul beberapa nabi palsu dan keengganan sebagian umat Islam membayar zakat, namun semua permasalahan tersebut dapat diatasi oleh Abu Bakar ash-Ṣiddiq.

Benih-benih perpecahan mulai muncul pada akhir masa pemerintahan Utsman  bin Affan, yaitu ketika Khalifah Utsman bin Affan (23-35 H) melakukan reformasi di bidang administratur pemerintahan. Kebijakan yang diambil Khalifah Utsman tersebut berdampak kepada situasi politik yang tidak stabil.

Situasi politik yang tidak stabil pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan mencapai puncaknya dengan terbunuhnya khalifah ketiga tersebut. Peristiwa yang menyedihkan dalam sejarah Islam ini dikenal dengan istilah al-fitnah al-kubra (fitnah besar). Peristiwa ini dianggap sebagai pangkal munculnya firqah-firqah dalam Islam.

Intrik politik tidak menjadi reda dengan meninggalnya Utsman bin Affan. Bahkan pertikaian semakin membesar dengan terjadinya perang Jamal (pasukan khalifah Ali bin Abi Ṭālib melawan pasukan ‘Aisyah) dan perang Ṣiffin (pasukan khalifah Ali bin Abi Ṭālib melawan pasukan Mu’awiyah bin Abi Ṣufyān). Perang Jamal dapat diselesaikan Khalifah Ali bin Abi Ṭālib dengan baik. Namun upaya damai yang ditempuh untuk mengakhiri perang Ṣiffin melalui upaya perundingan/ tahkīm justru membuat umat Islam terpecah menjadi beberapa golongan. Kelompok Ali bin Abi  Ṭālib terpecah menjadi dua golongan. Pertama, golongan yang tetap setia kepada Ali bin Abi Ṭālib, dan inilah yang menjadi embrio kelompok Syi’ah. Kedua, golongan yang memisahkan diri dari pasukan Ali bin Abi Ṭālib, dan inilah yang kemudian dikenal dengan firqah Khawārij. Di luar Syi’ah dan Khawārij, ada golongan pendukung Mu’awiyah bin Abu Ṣufyān. Pada masa ini, tema utama perdebatan para mutakallimīn adalah tentang hukum orang mukmin yang melakukan dosa besar.

 

3.     Aqidah Islam Pada Masa Bani Umayyah

Pada masa ini, perdebatan di bidang aqidah sudah sangat tajam. Kondisi ini terjadi karena kedaulatan Islam sudah mulai kokoh, sehingga umat Islam semakin leluasa untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran yang sebelumnya tidak disentuh. Masuknya pemeluk Islam yang berasal dari berbagai daerah yang masih membawa alam pikiran dari keyakinan sebelum memeluk Islam juga menjadi faktor

perkembangan pemikiran kalam. Umat Islam mulai tertarik untuk mendiskusikan masalah qadar, begitu juga masalah istiṭa’ah.

Corak pemerintahan yang represif dari beberapa khalifah Bani Umayyah menyebabkan sebagian umat Islam bersikap apatis. Mereka beranggapan bahwa apa yang selama ini dialami oleh umat Islam pada hakikatnya sudah menjadi suratan taqdir. Corak pemikiran yang demikian ini sangat menguntungkan pihak pemerintahan. Maka paham ini dimanfaatkan pemerintah untuk melegitimasi segala kebijakannya. Tokoh yang memunculkan pemikiran ini adalah Jahm bin Shafwan. Inilah yang kemudian dikenal dengan paham Jabariyah.

Pada akhirnya ada reaksi dari sebagian umat Islam yang menginginkan adanya perubahan. Mereka menandingi paham Jabariyah dengan  memunculkan  konsep teologi baru. Motor penggerak paham ini misalnya: Ma’bad al-Juhani, Ghailan ad- Dimasyqi, dan Ja’ad bin Dirham. Mereka inilah tokoh Qadariyah yang pertama.

Adapun sikap para sahabat yang masih hidup pada masa itu, misalnya: Ibnu Umar, Jabir bin Abdullah, Anas bin Malik, Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah beserta sahabat lain, tidak mau terlibat dalam perdebatan tersebut dan bahkan menolaknya.

Pada masa Daulah Umayyah ini juga muncul pemikir yang cerdas yaitu Hasan al-Baṣri yang kemudian dijadikan rujukan oleh mayoritas Umat Islam dengan pendapatnya bahwa orang mukmin yang melakukan dosa besar dipandangnya sebagai orang fasik, tidak keluar dari golongan mu’min.

 

4.     Aqidah Islam Pada Masa Bani Abbasiyah

Pada masa ini, hubungan antara bangsa Arab dengan bangsa Ajam mencapai puncaknya. Komunikasi yang intens ini melahirkan corak pemikiran yang baru  di dunia Islam. Gerakan penerjemahan filsafat Yunani dan Persia gencar dilakukan, sehingga terjadi transfer ilmu pengetahuan yang berasal dari luar Islam. Corak pemikiran baru ini kemudian dikembangkan oleh para pemikir Islam dalam disiplin ilmu yang dikenal dengan Ilmu kalam.

Para mutakallimin mulai menulis karya pemikiran mereka dalam bentuk kitab- kitab yang sistematis. Misalnya Abu Hanifah menulis kitab al-Alim wa al- Muta’alim dan kitab al-Fiqhu al-Akbar karya Imam asy-Syafi’i untuk mempertahankan ’aqidah Ahlus Sunnah.

Antusiasme para pemikir Ilmu kalam semakin berkembang pesat pada masa pemerintahan al-Ma’mun. Ilmu Kalam menjadi disiplin ilmu yang mandiri yang memisahkan diri al-fiqhu fi-ilmi (ilmu hukum), yang sebelumnya masih termasuk dalam dalam al-Fiqhu al-Akbar.

Pada masa pemerintahan al-Ma’mun, al-Mu’tashim, dan al-Watsiq, aliran Mu’tazilah dijadikan sebagai faham resmi kekhalifahan Bani Abasiyah, sehingga para ulama yang berpengaruh diuji aqidahnya, yang dalam sejarah dikenal dengan mihnah.

Para ulama yang tidak sepaham dengan Mu’tazilah dalam hal kemakhlukan al-Qur’an maka akan dijatuhi hukuman bahkan dijebloskan ke dalam penjara.

Tindakan al-Ma’mun yang menggunakan tangan besi tersebut berdampak kepada hilangnya simpatik umat Islam terhadap Mu’tazilah, dan pada akhirnya dijauhi oleh masyarakat. Dalam keadaan yang demikian itu muncullah Abu Hasan al-Asy’ari yang merupakan murid utama dari al-Jubbai al-Mu’tazili mengeluarkan pemikiran garis tengah/wasathiyah dengan menggunakan dalil-dalil naqli dan aqli untuk menopang argumentasi aqidahnya. Dan bersamaan itu. muncul tokoh Abu Mansur al-Maturidi yang mempunyai corak pemikiran yang sama dengan Abu Hasan al-Asy’ari

Faham aqidah yang dikembangkan oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi dapat tersebar luas ke berbagai daerah karena corak pemikirannya yang wasathiyah dan dikembangkan oleh murid-muridnya. Di antara Ulama yang mengembangkan pemikiran Abu Hasan al-Asy’ari adalah Abu Bakar al-Baqillani, Abu Ishaq al-Isfarayini, Imamul Haramain al-Juwaini, dan al-Ghazali.

 

5.          Aqidah Islam Sesudah Bani Abbasiyah

Pada masa ini, paham Asy’ariyah dan Maturidiyah mengalami perkembangan yang sangat pesat sehingga menjadi paham mayoritas umat Islam. Corak pemikiran yang wasaṭiyah yang mudah dipahami, dan mampu mengkolaborasikan antara dalil naqli/nash dan pendekatan akal/filsafat menjadikan aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah menjadi aliran yang banyak diikuti oleh umat Islam. Aliran ini kemudian dikenal dengan sebutan ahlu al-sunnah wa al-jama’ah dan menjadi paham mayoritas umat Islam.

Pada permulaan abad ke-8 H, muncul Taqiyyudin Ibnu Taimiyah di Damaskus yang berusaha membongkar beberapa pemikiran Asy’ariyah yang dianggapnya tidak murni bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadiś. Pemikiran Ibnu Taimiyah ini kemudian dikenal dengan gerakan Salafi. Pada perkembangan selanjutnya muncul pemikir- pemikir Islam seperti Ibnul Qayyim al-Jauziyah, Jamaluddin al-Afghani, Rasyid Ridha, Muhammad Abduh, dan Muhammad bin Abdul Wahab.

 

B.      Peristiwa tahkīm

Ali bin Abi Ṭālib menerima estafet kepemimpinan dalam situasi yang sulit. Peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan menjadi beban yang sangat berat untuk diselesaikan. Mu’awiyah yang merasa representasi keluarga Utsman bin Affan mengajukan tuntutan agar Ali bin Abi Ṭālib memprioritaskan pengusutan pembunuhan Utsman bin Affan. Sebenarnya Ali bin Abi Ṭālib sudah bersungguh-sungguh berupaya membongkar kasus pembunuhan Utsman tersebut, tetapi belum berhasil. Mu’awiyah bin Abi Ṣufyān tidak mau baiat kepada Ali bin Abi Ṭālib dan secara  terang-terangan menolak kekhalifahannya. Mu’awiyah bin Abi Ṣufyān, yang saat itu menjabat gubernur. di Syam menyusun kekuatan untuk melawan kekhalifahan Ali bin Abi Ṭālib. Pada akhirnya bertempurlah dua kekuatan pasukan di Ṣiffin pada bulan Ṣafar 37 H/657 M.

Dalam pertempuran di Ṣiffin, pasukan Ali bin Abi Ṭālib hampir mencapai kemenangan. ‘Amr bin ‘Ash dari pihak Mu’awiyah yang mengamati  pasukannya semakin terpojok dan menuju kepada kekalahan maka mengajukan usul supaya diadakan perundingan. Usulan tersebut pada awalnya diragukan ketulusannya oleh Ali bin Abi Ṭālib. Namun pada akhirnya Ali bin Abi Ṭālib menerima ajakan damai tersebut setelah didesak oleh sebagian pasukannya.

Daumatul Jandal adalah lokasi yang disepakati untuk dijadikan tempat perundingan. Peristiwa perundingan antara pihak Ali bin Abi Ṭālib dan pihak Mu’awiyah inilah kemudian dikenal dengan sebutan tahkīm/arbitrase. Masing-masing delegasi berjumlah 400 orang (sebagian riyawat mengatakan 100 orang). Delegasi Ali bin Abi Ṭālib dipimpin Abu Musa Al-Asy’ari, delegasi Mu’awiyah dipimpin ‘Amr bin ‘Ash. Dalam dialog antara delegasi Ali bin Abi Ṭālib dan delegasi Mu’awiyah, dicapailah suatu kesepakatan, bahwa untuk meredakan pertikaian maka Ali bin Abi Ṭālib dan Mu’awiyah harus diturunkan dari jabatannya.

‘Amr bin ‘Ash meminta kepada Abu Musa al-Asy’ari untuk menyampaikan hasil kesepakatan lebih dulu baru kemudian dirinya. Alasan yang disampaikan oleh ‘Amr bin ‘Ash adalah  untuk menghormati Abu Musa al-Asy’ari karena lebih dulu masuk Islam  dan usianyapun lebih tua. ‘Amr bin ‘Ash yang mempersilakan lebih dahulu kepada Abu Musa al-Asy’ari untuk menyampaikan hasil musyawarah tersebut, ternyata hanyalah sebuah strategi untuk memenangkan diplomasi, yang tidak diantisipasi oleh Abu Musa al- Asy’ari. Lalu Abu Musa menyampaikan hasil perundingan di Daumatal Jandal tersebut tanpa mempunyai kecurigaan apapun kepada ‘Amr bin ‘Ash.

Sebelum Abu Musa al-Asy’ari menyampaikan pidatonya, Ibnu Abbas yang merupakan salah satu delegasi dari pihak Ali bin Abi Ṭālib, mencoba menasehati Abu Musa al-Asy’ari dengan mengatakan, “’Amr bin ’Ash telah menipumu, jangan bersedia menyampaikan hasil kesepakatan sebelum ‘Amr bin ‘Ash menyampaikan di depan seluruh delegasi!” Namun Abu Musa al-Asy’ari menolak permintaan Ibnu Abbas. Dan berpidatolah Abu Musa al-Asy’ari: “Kami berdua mencapai suatu kesepakatan, dan berdoa semoga Allah menjadikannya sebagai kesepakatan yang mendamaikan umat”.

Lalu di depan seluruh delegasi yang berjumlah sekitar 800 orang tersebut Abu Musa al-Asy’ari melanjutkan pidatonya: “Kami berdua telah mencapai kesepakatan, yang kami nilai sebagai kesepakatan yang terbaik untuk umat, yaitu masing-masing dari kami berdua lebih dahulu akan mencopot Ali bin Abi Ṭālib dan Mu’awiyah dari jabatannya. Setelah itu, menyerahkan kepada umat Islam untuk memilih khalifah yang mereka sukai. Dengan ini, saya menyatakan telah mencopot Ali bin Abi Ṭālib sebagai khalifah”.

Dan seperti yang diduga Ibnu Abbas, ketika ‘Amr bin ‘Ash berbicara di depan semua delegasi, dia berkata, “Kalian telah mendengarkan sendiri, Abu Musa al-Asy’ari

telah mencopot Ali bin Abi Ṭālib , dan saya sendiri juga ikut mencopotnya seperti yang dilakukan Abu Musa al-Asy’ari. Dengan demikian, dan mulai saat ini juga, saya nyatakan bahwa Mu’awiyah adalah khalifah, pemimpin umat. Mu’awiyah adalah pelanjut kekuasaan Utsman bin Affan dan lebih berhak menggantikannya”.

Mendengar pernyataan ‘Amr bin ‘Ash tersebut, Ibnu Abbas langsung membentak Abu Musa al-Asy’ari, yang menjawab “Saya mau bilang apa lagi, tidak ada yang bisa saya lakukan, ‘Amr bin ‘Ash telah menipuku", dan kemudian mulai mencaci dengan mengatakan, “Wahai ‘Amr bin ‘Ash, celaka kamu, kamu telah menipu dan berbuat jahat”.

Bisa dibayangkan bagaimana kacaunya dan gaduhnya suasana di Daumatul Jandal pada saat itu. Seluruh pendukung Ali bin Abi Ṭālib tentu sangat kecewa. Sebaliknya, kubu Mu’awiyah merasa senang dan bersuka ria. Setelah kejadian aneh dan kacau itu, Abu Musa al-Asy’ari meninggalkan kota Daumatul Jandal menuju Makkah. Sementara ‘Amr bin ‘Ash dan anggota delegasinya meninggalkan Daumatul Jandal untuk menemui dan memberitahu Mu’awiyah  tentang  hasil  tahkīm  dan  sekaligus mengucapkan selamat kepada Mu’awiyah sebagai khalifah. Dan inilah awal kekuasaan Dinasti Umayyah di Damaskus. Sementara itu Ibnu Abbas menemui Ali bin Abi Ṭālib untuk memberitahu hasil pertemuan tahkīm.

Dampak dari peristiwa tahkīm tersebut, maka umat Islam terpecah menjadi tiga faksi, yaitu:

1.       Kelompok yang tetap setia kepada Ali bin Abi Ṭālib, yang kemudian menjadi embrio kelompok Syi’ah.

2.       Pecahan kelompok Ali bin Abi Ṭālib, yang kemudian dikenal dengan sebutan

Khawārij.

3.       Kelompok yang mendukung Mu’awiyah bin Abi Ṣufyān.

Pada awalnya, aliran Khawārij hanya memperdebatkan persoalan politik, namun kemudian menjalar ke persoalan teologi/akidah. Misalnya sikap mereka terhadap  Utsman, Ali bin Abi Ṭālib dan Mu’awiyah yang dinilainya sebagai kafir karena dianggap mencampuradukkan antara yang benar (haq) dengan yang palsu (bāṭil). Karena itu mereka merencanakan untuk membunuh Ali bin Abi Ṭālib, Mu’awiyah bin Abi Ṣufyān, dan ‘Amr bin ‘Ash .

Rencana pembunuhan tersebut dirancang dengan matang. Ibnu Muljam ditugaskan untuk membunuh Ali bin Abi Ṭālib di Kufah. Hajjaj bin Abdullah ditugaskan untuk membunuh Mu’awiyah di Damaskus. ‘Amr bin Bakar ditugaskan untuk membunuh ‘Amr bin ‘Ash di Mesir. Namun pada akhirnya yang berhasil dibunuh hanyalah Ali bin Abi Ṭālib. Sedangkan Mu’awiyah hanya mengalami luka-luka, dan ‘Amr bin ‘Ash selamat sepenuhnya, karena tidak ke Masjid, dan hanya berhasil membunuh Kharijah yang dikira ‘Amr bin ‘Ash kerena kemiripan rupanya.

klick Uh di bawah ini

Ulangan harian


Soal Tryout UAMNUBK MA

 soal aqidah  Soal Try out Aqidah Akhlak UAMNUBK MA