Kamis 5 Agustus 2021
PERAN WALISANGA DI
INDONESIA
A.
Biografi
Walisanga
Bagi masyarakat muslim Indonesia sebutan Walisanga
memberikan makna khusus terhadap keberadaan tokoh-tokoh yang berperan penting
dalam pengembangan Islam pada abad ke -15 hingga 16 Masehi di pulau Jawa. Kehadiran
Walisanga dengan ajaran-ajarannya memiliki pengaruh yang kuat dalam
masyarakat Islam di Jawa. Masyarakat Jawa memanggil Sunan kepada para
Walisanga. Kata Sunan atau Susuhunan berasal dari kata suhun-kasuhun-sinuhun berarti yang dijunjung tinggi/ dijunjung di atas
kepala juga bermakna paduka yang
mulia. Gelar atau sebutan Sunan digunakan
oleh para raja Mataram Islam sampai kerajaan Surakarta dewasa ini. Bagi
sebagian besar masyarakat Jawa, Walisanga dianggap memiliki nilai kekeramatan
dan kemampuan-kemampuan di luar kelaziman. Walisanga merupakan sembilan ulama
yang merupakan pelopor dan pejuang penyiaran Islam di Jawa pada abad XV dan
XVI. Masih terdapat perbedaan pendapat tentang nama-nama Walisanga. Namun yang
lazim disebut sebagai Walisanga adalah sebagai
berikut:
No. |
Nama Wali |
Nama Lain |
1. |
Sunan Gresik |
Maulana Malik
Ibrahim |
2. |
Sunan Ampel |
Raden
Rahmatullah |
3. |
Sunan Bonang |
Maulana Makhdum
Ibrahim |
4. |
Sunan Kalijaga |
Raden Mas Syahid |
5. |
Sunan Giri |
Raden ‘Ainul
Yaqin |
6. |
Sunan Drajat |
Raden Qasim |
7. |
Sunan Kudus |
Raden Ja’far
Shadiq |
8. |
Sunan Muria |
Raden Umar Said |
9. |
Sunan Gunung Jati |
Raden Syarif
Hidayatullah |
Walisanga diterima dengan baik oleh
masyarakat, karena kedatangan para wali di tengah-tengah masyarakat Jawa tidak
dipandang sebagai sebuah ancaman. Para wali menggunakan unsur-unsur budaya lama
(Hindu dan Buddha) sebagai media dakwah. Dengan sabar sedikit demi sedikit
Walisanga memasukkan nilai-nilai ajaran Islam ke dalam unsur-unsur lama yang
sudah berkembang. Perjuangan Walisanga dalam dakwah nyaris tanpa konflik,
karena Walisanga sangat halus dalam mengajar masyarakat dan semua dilakukan
dengan jalan damai.
1. Syaikh Maulana Malik Ibrahim (w. 882 H/ 1419 M)
Ada perbedaan
pendapat terkait asal usul Syaikh Maulana Malik Ibrahim, ada pendapat berasal
dari Turki dan ada pendapat lain menyatakan berasal dari Kashan sebuah tempat
di Persia (Iran) sebagaimana tercatat pada prasasti makamnya. Syaikh Maulana
Malik Ibrahim adalah seorang ahli tata negara yang menjadi penasehat raja, guru
para pangeran dan juga dermawan terhadap fakir miskin. Menurut Babad ing Gresik beliau datang bersama
kawan-kawan dekatnya dan berlabuh di Gresik pada tahun 1293/1371 M. Syaikh
Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan Ali Zainal Abidin cicit Nabi Muhammad
Saw.
Syaikh Maulana
Malik Ibrahim atau Sunan Gresik bermukim di
Gresik untuk menyiarkan ajaran Islam hingga akhir hayatnya pada tanggal
12 Rabiul awwal 822 H, bertepatan dengan 8 April 1419 M dan di makamkan di desa
Gapura kota Gresik. Makamnya banyak diziarahi masyarakat hingga sekarang. Sunan
Gresik dianggap sebagai penyiar Islam pertama di tanah Jawa, sehingga dianggap
sebagai Ayah dari Walisanga.
2. Sunan Ampel atau Raden Rahmat (w. 1406 M)
Raden Rahmat
adalah putra cucu Raja Champa, ayahnya bernama Ibrahim As-Samarkandi yang
menikah dengan Puteri Raja Champa yang bernama Dewi Candra Wulan. Raden Rahmat
ke tanah Jawa langsung ke Majapahit, karena bibinya Dewi Dwara Wati diperistri
Raja Brawijaya, dan istri yang paling disukainya. Raden Rahmat berhenti di Tuban dan ditempat itu beliau
berkenalan dengan dua tokoh masyarakat yaitu Ki Wiryo Sarojo dan Ki Bang
Kuning, yang kemudian masuk Islam keduanya beserta keluarganya. Dengan masuk
Islamnya Ki Wiryo Sarojo dan Ki Bang Kuning, usaha Sunan Ampel semakin mudah
dalam mendekati masyarakat dan melakukan dakwah Islam, sedikit demi sedikit
mengajarkan Ketauhidan dan Ibadah. Sunan Ampel wafat pada tahun 1406M. Beliau
dimakamkan di Kompleks Masjid Ampel,
Surabaya. Sampai sekarang makam beliau banyak dikunjungi peziarah dari berbagai
derah diseluruh pelosok Indonesia.
3. Sunan Bonang atau Makhdum Ibrahim (w.1525 M)
Raden Maulana
Makhdum Ibrahim adalah putra Sunan Ampel dari istri yang bernama Dewi Candrawati.
Sunan Bonang dikenal sebagai ahli Ilmu
Kalam dan Ilmu Tauhid. Maulana Makhdum Ibrahim banyak belajar di Pasai,
kemudian sekembalinya dari Pasai, Maulana Makhdum Ibrahim mendirikan pesantren
di daerah Tuban. Santri yang belajar pada pesantren Maulana Makhdum Ibrahim,
berasal dari penjuru daerah di tanah air.
Dalam
menjalankan kegiatan dakwahnya Maulana Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang) mempunyai
keunikan dengan cara mengubah nama-nama dewa dengan nama-nama malaikat
sebagaimana yang dikenal dalam Islam. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya
persuasif terhadap penganut ajaran Hindu dan Budha yang telah lama dipeluk
sebelumnya. Sunan Bonang meninggal pada tahun 1525 dan dimakamkan di Tuban,
daerah pesisir utara Jawa yang menjadi basis perjuangan dakwahnya.
4. Sunan Kalijaga atau Raden Syahid (w. abad 15)
Sunan Kalijaga
mempunyai nama kecil Raden Sahid, beliau juga dijuluki Syekh Malaya. Ayahnya
bernama Raden Sahur Tumenggung Wilwatikta keturunan Ranggalawe yang sudah Islam
dan menjadi bupati Tuban, sedangkan ibunya bernama Dewi Nawangrum. Sunan
Kalijaga merupakan salah satu wali yang asli orang Jawa. Sebutan Kalijaga
menurut sebagian riwayat berasal dari rangkaian bahasa Arab qadi zaka yang artinya ‘pelaksana’ dan ‘membersihkan’. Menurut pendapat masyarakat Jawa memberikan arti
kata qadizaka dengan Kalijaga, yang
berarti pemimpin atau pelaksana yang menegakkan kesucian atau kebersihan. Sunan
Kalijaga meninggal pada pertengahan abad XV dan makamnya ada di desa Kadilangu,
Kabupaten Demak, Jawa Tengah.
5. Sunan Giri atau Raden ‘Ainul Yaqin (w. Abad 15)
Raden ‘Ainul
Yaqin (Raden Paku) adalah putra dari Syekh Maulana Ishaq (murid Sunan Ampel).
Raden ‘Ainul Yaqin dan dikenal dengan sebutan Sunan Giri. Sunan Giri merupakan
saudara ipar dari Raden Fatah, di karenakan istri mereka bersaudara. Raden
‘Ainul Yaqin kecil di bawah asuhan
seorang wanita kaya raya yang bernama Nyai Gede Maloka atau Nyai Ageng Tandes.
Setelah menginjak dewasa, Raden ‘Ainul Yaqin menimba ilmu di Pesantren Ampel
Denta (Surabaya) milik Sunan Ampel. Di sini ia bertemu dan berteman baik dengan
putra Sunan Ampel yang bernama Maulana Makdum
Ibrahim.
Ketika hendak
melaksanakan ibadah haji bersama Sunan Bonang, keduanya menyempatkan singgah di
Pasai untuk memperdalam ilmu keimanan dan tasawuf. Pada sebuah kisah
diceritakan bahwa Raden Paku bisa mencapai tingkatan ilmu laduni. Dengan prestasi yang dicapainya inilah, Raden Paku
juga terkenal dengan panggilan Raden ‘Ainul Yaqin. Sunan Giri meninggal sekitar
awal abad ke-16, makam beliau ada di Bukit Giri, Gresik.
6. Sunan Drajad atau Raden Qasim (w. 1522 M)
Sunan Drajad
memiliki nama asli Raden Qasim. Disebut Sunan Drajad karena beliau berdakwah di
daerah Drajad kecamatan Paciran Lamongan. Masyarakat juga menyebutnya sebagai
Sunan Sedayu, Raden Syarifudin, Maulana Hasyim, Sunan Mayang Madu. Raden Qasim
adalah putra Sunan ampel dari istri kedua yang bernama Dewi Candrawati. Raden
Qasim mempunyai enam saudara seayah-seibu, diantaranya Siti Syareat (istri R.
Usman Haji), Siti Mutma’innah (istri R. Muhsin), Siti Sofiah (istri R. Ahmad,
Sunan Malaka) dan Raden Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang). Di samping itu,
ia mempunyai dua orang saudara seayah lain ibu, yaitu Dewi Murtasiyah (istri R.
Fatah) dan Dewi Murtasimah (istri Sunan Giri). Sedangkan istri Sunan Drajad,
yaitu Dewi Shofiyah putri Sunan Gunung Jati.
7. Sunan Kudus atau Raden Ja’far Shadiq (w.1550
M)
Sunan Kudus
biasa juga dikenal Ja’far Sadiq atau Raden Undung, beliau juga dijuluki Raden
Amir Haji sebab ia pernah bertindak sebagai pimpinan Jama’ah Haji (Amir).
Dikenal sebagai seorang pujangga cerdas yang luas dan mendalam keilmuannya.
Ja’far Sadiq
(Sunan Kudus) merupakan putra Raden Usman Haji yang menyebarkan agama Islam di
daerah Jipang Panolan, Blora, Jawa Tengah. Dalam silsilah, Sunan Kudus masih
keturunan Nabi Muhammad Saw. Tercatat detail dalam silsilah: Ja’far Sadiq bin
R. Usman Haji bin Raja Pendeta bin Ibrahim as-Samarkandi bin Maulana Muhammad
Jumadal Kubra bin Zaini al-Husein bin Zaini al-Kubra bin Zainul Alim bin Zainul
Abidin bin Sayid Husein bin Ali ra.
Sunan Kudus juga dikenal dengan julukan wali al-ilmi, karena sangat menguasai ilmu-ilmu agama, terutama
tafsir, fikih, usul fikih, tauhid, hadits, serta logika. Sunan Kudus juga
dipercaya sebagai panglima perang Kesultanan Demak. Ia mendapat kepercayaan
untuk mengendalikan pemerintahan di daerah
Kudus, sehingga ia menjadi pemimpin pemerintahan (Bupati) sekaligus pemimpin
agama. Sunan Kudus meninggal di Kudus pada tahun 1550, makamnya berada di dalam
kompleks Masjid Menara Kudus.
8. Sunan Muria atau Raden Umar Said (w. abad 15)
Sunan Muria adalah putera Sunan Kalijaga
dengan Dewi Saroh. Nama aslinya adalah Raden Umar Said, semasa kecil ia biasa
dipanggil Raden Prawoto. Dikenal sebagai Sunan Muria karena pusat dakwah dan
bermukim beliau di Bukit Muria. Dalam dakwah, beliau seperti ayahnya. Ibarat
mengambil ikan “tidak sampai keruh airnya”.
Dalam sejarah tidak diketahui secara persis tahun meninggalnya dan menurut
perkiraan, Sunan Muria meninggal pada abad ke-16 dan dimakamkan di Bukit Muria,
Kudus.
9. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah (w.
1570 M)
Dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati,
nama asli beliau adalah Syarif Hidayatullah. Beliau adalah salah seorang dari
Walisanga yang banyak memberikan kontribusi dalam menyebarkan agama Islam di
pulau Jawa, khususnya di daerah Jawa Barat. Syarif Hidayatullah dikenal sebagai
pendiri Kesultanan Cirebon dan Banten.
Dalam bukunya Sadjarah Banten, Hoesein Djajadiningrat menyatakan kedua nama yaitu
Fatahillah dan Nurullah merupakan nama satu orang. Nama aslinya adalah
Nurullah, kemudian dikenal juga dengan nama Syekh Ibnu Maulana. Nurullah yang
kemudian dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati berasal dari Pasai. Penguasaan
Portugis atas Malaka pada 1511 dan akhirnya Pasai pada tahun 1521 membuat
Nurullah tidak tinggal lama di Pasai.
Beliau segera berangkat ke Mekah untuk melaksanakan ibadah haji. Setelah
kembali dari Tanah Suci pada tahun 1524, lalu langsung menuju Demak dan
beristri adik Sultan Trenggana.
Atas dukungan dari Sultan Trenggana, beliau
berangkatlah ke Banten untuk mendirikan sebuah pemukiman muslim. Kemudian dari
Banten, Nurullah melebarkan pengaruhnya ke daerah Sunda Kelapa. Di sini, pada
tahun 1526 dia berhasil mengusir bangsa Portugis yang hendak mengadakan
klic absen di bawah ini