Kamis, 18 Februari 2021
GERAKAN PEMBARUAN DALAM ISLAM
Modernisasi dalam Islam atau yang kemudian terkenal dengan Pembaruan Islam muncul sebagai hasil dari interaksi dunia Islam dan dunia Barat. Dengan adanya kontak antara Islam dan Barat, umat Islam menyadari bahwa ternyata Barat telah melesat menjadi bangsa yang lebih maju dalam berbagai bidang, baik dari sisi politik, ekonomi, sains dan ilmu pengetahuan.
Jauh
sebelum Barat menjadi bangsa yang modern, Islam telah terlebih dahulu tampil
sebagai bangsa yang maju dalam bidang ilmu pengetahuan dan peradaban. Para
ilmuwan- ilmuwan muslim telah membuat bangsa Barat berbondong-bondong belajar
terhadap ilmuwan muslim. Namun di abad
XIX, dunia Islam dikejutkan oleh kehebatan sains dan industri yang dimiliki
oleh Barat.
Betapapun
inovasi yang dilakukan oleh ilmuwan muslim, para ulama atau pakar di zaman
lampau tetap ada kekurangannya dan selalu dipengaruhi oleh kecenderungan,
pengetahuan, situasi sosial, dan lain sebagainya. Paham-paham tersebut di masa
sekarang mungkin masih banyak yang relevan dan masih dapat digunakan, tetapi
mungkin sudah banyak yang tidak sesuai lagi. Sementara di sebagian dunia yang
lain, mereka (Bangsa Barat) telah jauh lebih berkembang dan maju.
Runtuhnya
Daulah Islamiyah tidak serta merta menghilangkan ulama-ulama yang masih terus
bertahan dengan keteguhan ilmunya, sehingga keberlangsungan dinamika ilmiah
masih terus berkembang. Namun suasana politik dan dinamika sosial yang
berkembang turut mempengaruhi kecenderungan para ulama dalam membuahkan
karya-karya mereka. Para ulama cenderung kurang produktif dalam menuangkan
ide-ide ilmiahnya.
Kondisi
Ekonomi dunia Islam yang cenderung terpuruk karena imperialisme bangsa Barat
menambah berat laju perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Perilaku
manusia yang sudah cenderung hedonis sedikit
demi sedikit mengikis keyakinan dan ketaatan terhadap Allah Swt. Umat Islam
banyak yang cenderung memilih untuk melanjutkan kelangsungan hidupnya
masing-masing.
Keterpurukan
umat Islam pada masa penjajahan tidak boleh berlangsung berkepanjangan. Umat
Islam harus bangkit, umat Islam harus sadar untuk menatap kembali masa depan
yang lebih baik mengikuti tuntunan yang sudah digariskan dalam Al-Qur`an dan
Hadis. Umat Islam jangan sampai lalai dengan kejayaan dan kemajuan yang pernah
diraih, jauh pada masa sebelumnya. Umat Islam harus melakukan perubahan dan
pembaruan untuk mewujudkan dinamika Islam yang lebih modern.
A. Pengertian Pembaruan
Pembaruan
dalam Islam adalah upaya-upaya untuk menyesuaikan paham keagamaan Islam dengan
perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Dalam bahasa Arab,
gerakan pembaruan Islam disebut tajdid.
Secara harfiah, tajdid berarti pembaruan dan pelakunya disebut mujaddid. Islam sebenarnya telah memiliki tradisi pembaruan karena
ketika menemukan masalah baru, kaum muslim segera memberikan jawaban yang
didasarkan atas doktrin- doktrin
dasar kitab dan sunnah. Rasulullah pernah mengisyaratkan bahwa “sesungguhnya Allah akan mengutus
kepada umat ini (Islam) pada permulaan setiap abad orang-orang
yang akan memperbaiki, memperbaharui, agamanya” (HR. Abu
Daud).
Istilah
pembaruan baru terkenal dan populer setelah munculnya semangat pemikiran dan
gerakan pembaruan Islam, menyusul kontak politik dan intelektual dengan Barat. Tepatnya abad XVIII, pada waktu
itu baik secara politis maupun secara intelektual, Islam telah mengalami
kemunduran, sedangkan Barat dianggap telah maju dan modern. Kondisi seperti itu
menuntut umat Islam untuk melakukan pembaruan dalam berbagai bidang.
Istilah
tajdid itu sendiri memiliki arti lain
yang lebih luas, di antaranya adalah reformasi,
purifikasi, modernisme dan sebagainya. Istilah yang beragam itu mengindikasikan
bahwa hal itu terdapat variasi entah pada aspek metodologi, doktrin maupun
solusi, dalam gerakan tajdid yang
muncul di dunia Islam.
Gerakan
pembaruan Islam dapat ditelusuri akarnya pada doktrin Islam itu sendiri.
Gerakan pembaruan mendapatkan momentum ketika Islam berhadapan dengan
modernitas pada abad ke-19. Kontak langsung antara Islam dan modernitas yang
berlangsung sejak Islam sebagai kekuatan politik mulai merosot pada abad ke-18
merupakan agenda yang menyita banyak energi di kalangan intelektual muslim.
B.
Biografi Tokoh-tokoh Pembaruan Dalam Islam
Berikut
ini adalah biografi tokoh-tokoh pembaru dalam Islam:
1.Muhamamd Ali Pasha (1765-1849 M)
Muhammad
Ali Pasha lahir bulan Januari 1765 di Kawalla Albania Yunani dekat pantai
Macedonia dan meninggal di Mesir pada tahun 1849. Negeri ini telah menjadi
bagian negara Daulah Usmani sejak ditaklukkannya oleh Sultan Muhammad II
al-Fatih pada tahun 857 H/1453 M dan baru dapat melepaskan diri. dari kekuasaan Istanbul pada tahun
1245/1829 M. Ayah Muhammad Ali Pasha bernama Ibrahim Agha, seorang imigran
Turki, kelahiran Yunani. Sejak kecil, Muhammad Ali Pasha memiliki keterampilan
dan kecerdasan luar biasa.
Dalam
perjalanan kariernya, banyak usaha yang dilakukan untuk memperbaharukan atau
memodernisir keadaan umat Islam yang telah jauh tertinggal dari negara-negara
Barat. Setelah besar ia bekerja sebagai pemungut pajak, karena kecakapannya
dalam pekerjaannya ini ia menjadi kesayangan Gubernur Daulah Usmani setempat,
akhirnya ia diangkat sebagai menantu oleh gubernur tersebut dan mulai dari
waktu itu kariernya semakin meningkat.
Muhammad
Ali Pasha diangkat menjadi menantu Gubernur Usmani di tempatnya bekerja.
Setelah masuk dalam dinas militer, ia juga menunjukkan kecakapan dan
kesanggupan sehingga pangkatnya cepat naik menjadi perwira. Ketika pergi ke
Mesir ia mempunyai kedudukan wakil perwira yang memimpin pasukan yang dikirim
dari daerahnya. Setelah tentara prancis keluar dari Mesir di tahun 1801.
Muhammad Ali Pasha turut memainkan peran penting dalam dunia politik.
Muhammad
Ali Pasha mewariskan peninggalan yang megah di perbukitan Jabal Muqatam. Dengan
mengerahkan desainer Yunani bernama Yusuf Bushnak akhirnya berhasil membuat
Masjid indah dengan corak menara Turki yang berwarna putih perak. Masjid
tersebut terbuat dari bahan marmer yang menawan, penduduk Mesir menamainya
sebagai masjid Alabaster. Muhammad Ali Pasha meninggal dunia pada tahun 1849 M
di Alexandria kemudian jenazahnya dimakamkan di komplek masjid Alabaster.
2.
Jamaluddin
Al-Afghani (1838-1897 M)
JamaluddinAl-Afghani
dilahirkan di Asadabad, dekat Kanar di Distrik Kabul, Afghanistan, pada tahun
1838 M (1254 H). Al-Afghani menghabiskan masa kecilnya di Afghanistan, namun
banyak berjuang di Mesir, India bahkan Perancis. Dalam usia 18 tahun,
Al-Afghani tidak hanya menguasai ilmu keagamaan tetapi juga mendalami filsafah,
hukum, sejarah, metafisika, kedokteran, sains, astronomi dan astrologi.
Jamaluddin
al-Afghani adalah salah seorang pemimpin pergerakan Islam pada akhir abad XIX.
Ayah Afghani, adalah Sayyid Sand,
dikenal dengan gelar Shadar Al-Husaini. Ayahnya tergolong bangsawan terhormat
dan mempunyai hubungan nasab dengan
Hussein Ibn Ali r.a., dari pihak Ali At-Tirmizi, seorang
perawi
hadis. Oleh karena itu, pada nama depan Jamaluddin Al-Afghani diberi tambahan Sayyid.
Al-Afghani
melanjutkan belajar ke India selama satu tahun. Di India Afghani menekuni
sejumlah ilmu pengetahuan melalui metode modern. Didorong keyakinannya,
Al-Afghani melanglang buana ke berbagai negara. Dari India, Al- Afghani
melanjutkan perjalanan ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Sepulangnya ke
Kabul Al-Afghani diminta penguasa Afghanistan Pangeran Dost Muhammad Khan,
untuk membantunya. Tahun 1864, Al-Afghani diangkat menjadi penasehat Shir Ali
Khan, dan beberapa tahun kemudian diangkat menjadi Perdana Menteri oleh
Muhammad A’zam Khan. Namun karena campur tangan Inggris, Al- Afghani akhirnya
meninggalkan Kabul ke Mekkah. Inggris menilai Al-Afghani sebagai tokoh
berbahaya karena ide-ide pembaruannya, oleh karenanya pihak Inggris terus mengawasinya.
3. Muhammad Abduh (1849 – 1905 M)
Muhammad
Abduh lahir di pedusunan delta Nil Mesir pada tahun 1849. Keluarganya terkenal
berpegang teguh kepada ilmu dan agama. Dalam usia 12 tahun Muhammad Abduh telah
hafal al-Qur’an. Kemudian, pada usia 13 tahun ia dibawa ke Tanta untuk belajar
di Masjid Al-Hamdi. Masjid ini sering disebut Masjid Syeikh Ahmad, yang
kedudukannya dianggap sebagai level kedua setelah Al-Azhar.Di masjid ini
Muhammad Abduh menghapal dan belajar al-Qur’an selama 2 tahun.
Pada
saat Muhammad Abduh berumur 16 tahun, tepatnya pada tahun 1865, Muhammad Abduh
menikah dan bekerja sebagai petani. Namun hal itu hanya berlangsung selama 40
hari, karena kemudiania pergi ke Tanta untuk belajar kembali. Pamannya, seorang
Syekh (guru spiritual) Darwisy Khadr
seorang ulama shufi dari Tarekat Syadzili
telah membangkitkan kembali semangat belajar dan antusiasme Abduh terhadap
ilmu dan agama.
Syeikh
ini mengajarkan kepadanya disiplin etika dan moral serta praktek kezuhudan
tarekat nya. Meski Muhammad Abduh tidak lama bersama Syeikh Darwisy, sepanjang
hidupnya Muhammad Abduh tetap tertarik kepada kehidupan ruhaniah tasawuf. Namun kemudian dia jadi kritis terhadap banyak
bentuk lahiriah dan ajaran tasawuf, dan karena kemudian dia memasuki kehidupan
Jamaluddin Al- Afghani yang karismatis itu.
Tahun
1866 Muhammad Abduh meninggalkan isteri dan keluarganya menuju Kairo untuk
belajar di Al-Azhar. Tiga tahun setelah Muhammad Abduh di Al-Azhar,
Jamaluddin
Al-Afghani datang ke Mesir. Di bawah bimbingan Al-Afghani, Muhammad Abduh mulai
memperluas studinya sampai meliputi filsafat dan ilmu sosial serta politik.
Sekelompok pelajar muda Al-Azhar bergabung bersamanya, termasuk pemimpin Mesir
di kemudian hari, Sa’dZaghlul. Al-Afghani aktif memberikan dorongan kepada
murid-muridnya ini untuk menghadapi intervensi Eropa di negeri mereka dan
pentingnya melihat umat Islam sebagai umat yang satu.
Muhammad
Abduh meninggal pada tanggal 11 Juli 1905. Banyaknya orang yang memberikan
hormat di Kairo dan Alexandria, membuktikan betapa besar penghormatan orang
kepada dirinya. Meskipun Muhammad Abduh mendapat serangan sengit karena
pandangan dan tindakannya yang reformatif, terasa ada pengakuan bahwa Mesir.
4.
Muhammad
Rasyid Ridha (1865 - 1935 M)
Muḥammad
Rasyid Rida lahir di Qalamun, Lebanon dekat dengan Tripoli (Suriyah), 27
Jumadil Ula 1282 H, atau 23 September 1865 M, nama lengkapnya adalah Muhammad
Rasyid bin Ali Ridha bin Syamsuddin bin Baha'uddin Al- Qalmuni Al-Husaini. Ia
dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan keluarga terhormat dan taat beragama.
Rasyid Ridha memulai pendidikan dengan membaca Al-Qur'an, menulis dan berhitung
di kampungnya, Qalamun, Suriyah.
Muhammad
Rasyid Ridha masuk ke Madrasah ar-Rasyidiyah, yaitu sekolah milik pemerintah di
Tripoli untuk belajar ilmu bumi, ilmu berhitung, ilmu bahasa, seperti nahwu dan
saraf (ilmu tata bahasa Arab); dan ilmu-ilmu agama, seperti akidah dan ibadah.
Ketika berumur 18 tahun, Ridha kembali melanjutkan studinya dan sekolah yang
dipilihnya adalah Madrasah al-Wathaniyyah
al-Islamiyyah yang didirikan Syekh Husain
al-Jisr.
Syekh
Husain al-Jisr, dikenal sebagai seorang yang sangat berjasa dalam menumbuh
kembangkan semangat ilmiah dan ide pembaruan dalam diri Rasyid Ridha di
kemudian hari. Di antara pikiran-pikiran gurunya yang sangat mempengaruhi ide
pembaruan Rasyid Ridha adalah, satu-satunya jalan yang harus ditempuh umat
Islam untuk mencapai kemajuan adalah memadukan pendidikan agama dan pendidikan
umum.
Rasyid
Ridha juga seorang pengikut Thareqat
Naqsyabandiyah. Berdasarkan pengalamannya di dunia tarekat , ia menyimpulkan bahwa ajaran-ajaran tarekat yang berlebihan dalam cara beribadat dan
pengkultusan seorang guru membuat seseorang mempunyai sikap statis dan pasif.
Rasyid
Ridha meninggal di Mesir, 22 Agustus 1935 M (1354 H). Kemudian dimakamkan
Kairo, Mesir, bersebelahan dengan makam gurunya, Muhammad Abduh
5.
Muhammad
Iqbal (1877 – 1938 M)
Muhammad
Iqbal terlahir di Sialkot, Punjab, India, 9 November 1877. Leluhurnya termasuk
dari kalangan kasta Brahmana dari Kashmir yang telah memeluk agama Islam
sekitar tiga abad sebelum Iqbal lahir.Muhammad Iqbal terkenal sebagai seorang
sastrawan, filsuf, sekaligus negarawan pada abad XX.
Muhammad
Iqbal berkelana belajar ke Eropa selama tiga tahun; mulai dari Cambridge
bersama seorang filosof neo-Hegelian, JME McTaggert, kemudian di Heidelberg dan
terakhir di Munich. Dia meninggalkan Eropa dengan gelar sarjana hukum dari
Inggris dan gelar doktor dari Jerman dengan tesis tentang Mistisisme Persia.
Fakta yang lebih penting adalah dia menguasai pemikiran Eropa secara mendalam,
sejak teologi Thomas Aquinas hingga filsafat Henri-Louis Bergson dan Nietzsche.
Dalam
sastra Urdu, Muhammad Iqbal merupakan salah satu tokoh yang penting.
Karya-karnya banyak ditulis dalam bahasa Urdu dan Persia. Sarjana-sarjana
sastra Pakistan, India bahkan Indonesia banyak yang mengakui dan mengagumi
karya-karya Muhammad Iqbal.The
Reconstuction of Religious Thought in Islam (terbitan Lahore, 1951) dapat
dikatakan sebagai karya pamuncaknya. Di sanalah, percik-percik gagasannya
memancar dan terus menginspirasi hingga sekarang.
Selama
bertahun-tahun Muhammad Iqbal memberikan pengaruh yang sangat besar pada
perselisihan budaya, sosial, religius dan politik. Muhammad Iqbal meninggal di
Lahore, 21 April 1938 pada umur 60 tahun.
Selamat belajar tolong jangan lupa isi absen di bawah ini