Kesultanan Ternate atau juga dikenal dengan Kerajaan Gapi adalah salah satu dari 4 kerajaan Islam di Kepulauan Maluku dan merupakan salah satu kerajaan Islam tertua di Nusantara. Didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada tahun 1257. Kesultanan Ternate memiliki peran penting di kawasan timur Nusantara antara abad ke-13 hingga abad ke-19. Kesultanan Ternate menikmati kegemilangan di paruh abad ke-16 berkat perdagangan rempah-rempah dan kekuatan militernya. Pada masa jaya kekuasaannya membentang mencakup wilayah Maluku, Sulawesi bagian utara, timur dan tengah, bagian selatan kepulauan Filipina hingga sejauh Kepulauan Marshall di Pasifik. Saat ini takhta kesultanan dijabat oleh Sultan Syarifuddin Bin Iskandar Muhammad Djabir Sjah yang menjabat sejak tahun 2016 menggantikan Sultan Mudaffar Syah II
Asal Usul
Pulau Gapi (kini Ternate) mulai ramai
di awal abad ke-13. Penduduk Ternate awal merupakan warga eksodus
dari Halmahera. Awalnya di Ternate terdapat 4
kampung yang masing-masing dikepalai oleh seorang momole (kepala
marga). Merekalah yang pertama–tama mengadakan hubungan dengan para pedagang
yang datang dari segala penjuru mencari rempah–rempah. Penduduk Ternate semakin
heterogen dengan bermukimnya pedagang Arab, Jawa, Melayu dan Tionghoa. Oleh karena aktivitas perdagangan
yang semakin ramai ditambah ancaman yang sering datang dari para perompak maka
atas prakarsa Momole Guna pemimpin Tobona diadakan musyawarah untuk membentuk
suatu organisasi yang lebih kuat dan mengangkat seorang pemimpin tunggal sebagai raja.
Tahun
1257 Momole Ciko pemimpin Sampalu terpilih dan diangkat sebagai kolano (raja)
pertama dengan gelar Baab Mashur Malamo (1257-1272). Kerajaan
Gapi berpusat di kampung Ternate, yang dalam perkembangan selanjutnya semakin
besar dan ramai sehingga oleh penduduk disebut juga sebagai Gam Lamo atau
kampung besar (belakangan orang menyebut Gam Lamo dengan Gamalama). Semakin
besar dan populernya Kota Ternate,
sehingga kemudian orang lebih suka mengatakan kerajaan Ternate daripada
kerajaan Gapi. Di bawah pimpinan beberapa generasi penguasa berikutnya, Ternate
berkembang dari sebuah kerajaan yang hanya berwilayahkan sebuah pulau kecil
menjadi kerajaan yang berpengaruh dan terbesar di bagian timur Indonesia
khususnya Maluku.
Struktur
Kerajaan
Pada
masa–masa awal suku Ternate dipimpin
oleh para momole. Setelah membentuk kerajaan jabatan pimpinan dipegang seorang
raja yang disebut kolano. Mulai pertengahan abad ke-15, Islam diadopsi
secara total oleh kerajaan dan penerapan syariat Islam diberlakukan. Sultan Zainal
Abidin meninggalkan gelar kolano dan menggantinya dengan
gelar sultan. Para ulama menjadi
figur penting dalam kerajaan.
Setelah
sultan sebagai pemimpin tertinggi, ada jabatan jogugu (perdana
menteri) dan fala raha sebagai para penasihat. Fala raha atau
empat rumah adalah empat klan bangsawan yang menjadi tulang punggung
kesultanan sebagai representasi para momole pada masa lalu, masing–masing
dikepalai seorang kimalaha. Mereka yaitu Marasaoli, Tomagola,
Tomaito dan Tamadi. Pejabat–pejabat tinggi kesultanan umumnya berasal dari
klan–klan ini. Bila seorang sultan tak memiliki pewaris maka penerusnya dipilih
dari salah satu klan. Selanjutnya ada jabatan – jabatan lain Bobato Nyagimoi se
Tufkange (Dewan 18), Sabua Raha, Kapita Lau, Salahakan, Sangaji, dll.
MOLOKU KEI RAHA
Selain
Ternate, di Maluku juga terdapat paling tidak 3 kerajaan lain yang memiliki
pengaruh yaitu Kesultanan Tidore, Kesultanan Jailolo,
dan Kesultanan Bacan.
Kerajaan–kerajaan ini merupakan saingan Ternate dalam memperebutkan hegemoni
di Maluku. Berkat perdagangan rempah Ternate
menikmati pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, dan untuk memperkuat
hegemoninya di Maluku, Ternate mulai melakukan ekspansi. Hal ini menimbulkan
antipati dan memperbesar kecemburuan kerajaan lain di Maluku yang memandang
Ternate sebagai musuh bersama hingga memicu terjadinya perang.
Demi
menghentikan konflik yang berlarut–larut, sultan Ternate ke-7 Kolano Cili Aiya
atau disebut juga Kolano Sida Arif Malamo (1322-1331) mengundang raja–raja
Maluku yang lain untuk berdamai dan bermusyawarah membentuk persekutuan.
Persekutuan ini kemudian dikenal sebagai Persekutan Moti atau Motir Verbond.
Butir penting dari pertemuan ini selain terjalinnya persekutuan adalah
penyeragaman bentuk kelembagaan kerajaan di Maluku. Oleh karena pertemuan ini
dihadiri 4 raja Maluku yang terkuat maka disebut juga sebagai persekutuan
Moloku Kie Raha (Empat Gunung Maluku).
Kedatangan
Islam
Tak
ada sumber yang jelas mengenai kapan awal kedatangan Islam di Maluku
Utara khususnya Ternate. Namun diperkirakan sejak awal
berdirinya kerajaan Ternate masyarakat Ternate telah mengenal Islam mengingat
banyaknya pedagang Arab yang telah
bermukim di Ternate kala itu. Beberapa raja awal Ternate sudah menggunakan nama
bernuansa Islam namun kepastian mereka maupun keluarga kerajaan memeluk Islam
masih diperdebatkan. Hanya dapat dipastikan bahwa keluarga kerajaan Ternate
resmi memeluk Islam pertengahan abad ke-15.
Kolano
Marhum (1465-1486), penguasa Ternate ke-18 adalah raja pertama
yang diketahui memeluk Islam bersama seluruh kerabat dan pejabat istana.
Pengganti Kolano Marhum adalah puteranya, Zainal Abidin (1486-1500). Beberapa
langkah yang diambil Sultan Zainal Abidin adalah meninggalkan gelar kolano dan
menggantinya dengan sultan, Islam diakui
sebagai agama resmi kerajaan, syariat Islam
diberlakukan, dan membentuk lembaga kerajaan sesuai hukum Islam dengan
melibatkan para ulama. Langkah-langkahnya ini kemudian diikuti kerajaan lain di
Maluku secara total, hampir tanpa perubahan. Ia juga mendirikan madrasah yang
pertama di Ternate. Sultan Zainal Abidin pernah memperdalam ajaran Islam dengan
berguru pada Sunan Giri di
pulau Jawa. Di sana dia dikenal sebagai Sultan
Bualawa (Sultan Cengkih).
Kedatangan
Portugal dan Perang Saudara
Pada
masa pemerintahan Sultan Bayanullah (1500-1521),
Ternate semakin berkembang, rakyatnya diwajibkan berpakaian secara islami,
teknik pembuatan perahu dan senjata yang diperoleh dari
orang Arab dan Turki digunakan
untuk memperkuat pasukan Ternate. Pada masa ini pula datang orang Eropa pertama
di Maluku, Loedwijk
de Bartomo (Ludovico Varthema) tahun 1506.
Tahun
1512 Portugal untuk pertama kalinya
menginjakkan kaki di Ternate dibawah pimpinan Fransisco
Serrao, atas persetujuan sultan, Portugal diizinkan mendirikan pos
dagang di Ternate. Portugal datang bukan semata–mata untuk berdagang melainkan
untuk menguasai perdagangan rempah–rempah, pala dan cengkih di Maluku. Untuk itu terlebih
dulu mereka harus menaklukkan Ternate.
Sultan
Bayanullah wafat meninggalkan pewaris-pewaris yang masih sangat belia. Janda
sultan, permaisuri Nukila dan Pangeran Taruwese, adik almarhum sultan bertindak
sebagai wali. Permaisuri Nukila yang asal Tidore bermaksud menyatukan Ternate
dan Tidore dibawah satu mahkota yakni salah satu dari kedua puteranya, Pangeran
Hidayat (kelak Sultan Dayalu)
dan pangeran Abu Hayat (kelak Sultan Abu Hayat II).
Sementara pangeran Tarruwese menginginkan tahta bagi dirinya sendiri.
Portugal
memanfaatkan kesempatan ini dan mengadu domba keduanya hingga pecah perang
saudara. Kubu permaisuri Nukila didukung Tidore sedangkan pangeran Taruwese
didukung Portugal. Setelah meraih kemenangan pangeran Taruwese justru dikhianati
dan dibunuh Portugal. Gubernur Portugal bertindak sebagai penasihat kerajaan
dan dengan pengaruh yang dimiliki berhasil membujuk dewan kerajaan untuk
mengangkat pangeran Tabariji sebagai sultan. Tetapi ketika Sultan Tabariji mulai menunjukkan
sikap bermusuhan, ia difitnah dan dibuang ke Goa, India.
Di sana ia dipaksa Portugal untuk menandatangani perjanjian menjadikan Ternate
sebagai kerajaan Kristen dan vasal kerajaan
Portugal, namun perjanjian itu ditolak mentah-mentah oleh Sultan Khairun (1534-1570).
Pengusiran
Portugal
Perlakuan
Portugal terhadap saudara–saudaranya membuat Sultan Khairun geram dan bertekad
mengusir Portugal dari Maluku. Tindak–tanduk bangsa Barat yang satu ini juga
menimbulkan kemarahan rakyat yang akhirnya
berdiri di belakang Sultan Khairun. Sejak masa sultan Bayanullah, Ternate telah
menjadi salah satu dari tiga kesultanan terkuat dan pusat Islam
utama di Nusantara abad ke-16 selain Aceh dan Demak setelah kejatuhan Malaka pada tahun 1511. Ketiganya
membentuk Aliansi Tiga untuk membendung sepak terjang Portugal di Nusantara.
Tak
ingin menjadi Malaka kedua, sultan Khairun mengobarkan perang pengusiran
Portugal. Kedudukan Portugal kala itu sudah sangat kuat, selain memiliki
benteng dan kantong kekuatan di seluruh Maluku mereka juga memiliki
sekutu–sekutu suku pribumi yang bisa
dikerahkan untuk menghadang Ternate. Dengan adanya Aceh dan Demak yang terus
mengancam kedudukan Portugal di Malaka, Portugal di Maluku kesulitan mendapat
bala bantuan hingga terpaksa memohon damai kepada Sultan Khairun. Secara licik
gubernur Portugal, Lopez
de Mesquita mengundang Sultan Khairun ke meja perundingan dan
akhirnya dengan kejam membunuh sultan yang datang tanpa pengawalnya.
Pembunuhan
Sultan Khairun semakin mendorong rakyat Ternate untuk mengusir Portugal, bahkan
seluruh Maluku kini mendukung kepemimpinan dan perjuangan Sultan Baabullah (1570-1583), pos-pos
Portugal di seluruh Maluku dan wilayah timur Indonesia digempur. Setelah
peperangan selama 5 tahun, akhirnya Portugal meninggalkan Maluku untuk
selamanya pada tahun 1575. Di bawah pimpinan Sultan Baabullah, Ternate mencapai puncak
kejayaan, wilayah membentang dari Sulawesi Utara dan Tengah di bagian barat
hingga Kepulauan Marshall di
bagian timur, dari Filipina Selatan di bagian utara hingga kepulauan Nusa Tenggara di bagian selatan.
Sultan
Baabullah dijuluki penguasa 72 pulau yang semuanya berpenghuni hingga menjadikan
Kesultanan Ternate sebagai kerajaan Islam terbesar di Indonesia timur, di
samping Aceh dan Demak yang menguasai wilayah barat dan tengah Nusantara kala
itu. Periode keemasaan tiga kesultanan ini selama abad 14 dan 15 entah sengaja
atau tidak dikesampingkan dalam sejarah bangsa ini padahal mereka adalah pilar
pertama yang membendung kolonialisme Barat.
Kedatangan
Belanda
Setelah
Sultan Baabullah meninggal, Ternate mulai melemah, Kerajaan Spanyol yang telah bersatu
dengan Portugal pada tahun 1580 mencoba menguasai kembali Maluku dengan
menyerang Ternate. Dengan kekuatan baru Spanyol memperkuat kedudukannya
di Filipina, Ternate pun menjalin aliansi
dengan Mindanao untuk menghalau Spanyol namun
gagal, bahkan Sultan
Said Barakati berhasil ditawan Spanyol dan dibuang ke Manila.
Kekalahan
demi kekalahan yang diderita memaksa Ternate meminta bantuan Belanda pada tahun 1603. Ternate
akhirnya berhasil menahan Spanyol namun dengan imbalan yang amat mahal. Belanda
akhirnya secara perlahan-lahan menguasai Ternate. Pada tanggal 26 Juni 1607
Sultan Ternate menandatangani kontrak monopoli VOC di
Maluku sebagai imbalan bantuan Belanda melawan Spanyol. Pada tahun 1607 pula
Belanda membangun benteng Oranje di Ternate yang merupakan benteng pertama
mereka di nusantara.
Sejak
awal hubungan yang tidak sehat dan tidak seimbang antara Belanda dan Ternate
menimbulkan ketidakpuasan para penguasa dan bangsawan Ternate. Diantaranya
adalah Pangeran Hidayat (15??-1624), raja muda Ambon yang
juga merupakan mantan wali raja Ternate ini memimpin oposisi yang menentang
kedudukan sultan dan Belanda. Ia mengabaikan perjanjian monopoli dagang Belanda
dengan menjual rempah–rempah kepada pedagang Jawa dan Makassar.
Perlawanan
Rakyat Maluku dan kejatuhan Ternate
Semakin
lama cengkeraman dan pengaruh Belanda pada Ternate semakin kuat. Belanda dengan
leluasa mengeluarkan peraturan yang merugikan rakyat lewat perintah sultan.
Sikap Belanda yang jahat dan sikap sultan yang cenderung manut menimbulkan
kekecewaan semua kalangan. Sepanjang abad ke-17, setidaknya ada 4 pemberontakan
yang dikobarkan bangsawan Ternate dan rakyat Maluku.
·
Tahun 1635, demi memudahkan
pengawasan dan mengatrol harga rempah yang merosot Belanda memutuskan melakukan
penebangan besar–besaran pohon cengkih dan pala di
seluruh Maluku atau yang lebih dikenal sebagai Hongi
Tochten yang menyebabkan rakyat mengobarkan perlawanan. Pada
tahun 1641, dipimpin oleh raja muda Ambon, Salahakan Luhu, puluhan ribu pasukan
gabungan Ternate, Hitu dan Makassar menggempur berbagai kedudukan
Belanda di Maluku Tengah. Salahakan Luhu kemudian berhasil ditangkap dan
dieksekusi mati bersama seluruh keluarganya pada tanggal 16 Juni 1643.
Perjuangan lalu dilanjutkan oleh saudara ipar Luhu, Kapita Hitu Kakiali dan
Tolukabessi hingga 1646.
·
Tahun 1650, para bangsawan Ternate mengobarkan
perlawanan di Ternate dan Ambon, pemberontakan ini dipicu sikap Sultan
Mandarsyah (1648-1650,1655-1675) yang terlampau akrab dan
dianggap cenderung menuruti kemauan Belanda. Para bangsawan berkomplot untuk
menurunkan sultan. Tiga di antara pemberontak yang utama adalah trio pangeran
Saidi, Majira dan Kalamata.
Pangeran Saidi adalah seorang kapita laut atau panglima tertinggi pasukan
Ternate, Pangeran Majira adalah raja muda Ambon sementara Pangeran Kalamata
adalah adik sultan Mandarsyah. Saidi dan Majira memimpin pemberontakan di
Maluku Tengah sementara Pangeran Kalamata bergabung dengan raja Kesultanan Gowa, Sultan Hasanuddin. Mereka bahkan sempat
berhasil menurunkan Sultan Mandarsyah dari tahta dan mengangkat Sultan Manilha
(1650–1655), namun berkat bantuan Belanda kedudukan Mandarsyah kembali
dipulihkan. Setelah 5 tahun pemberontakan Saidi dkk berhasil dipadamkan.
Pangeran Saidi disiksa secara kejam hingga mati sementara Pangeran Majira dan
Kalamata menerima pengampunan sultan dan hidup dalam pengasingan.
·
Sultan Muhammad Nurul Islam atau
yang lebih dikenal dengan nama Sultan
Sibori (1675 – 1691) merasa gerah dengan tindak–tanduk Belanda
yang semena-mena. Ia kemudian menjalin persekutuan dengan Datuk Abdulrahman
penguasa Mindanao, namun upayanya untuk menggalang
kekuatan kurang maksimal karena daerah–daerah strategis yang bisa diandalkan
untuk basis perlawanan terlanjur jatuh ke tangan Belanda oleh berbagai
perjanjian yang dibuat para pendahulunya. Ia kalah dan terpaksa menyingkir
ke Jailolo.
Tanggal 7 Juli 1683 Sultan Sibori terpaksa menandatangani perjanjian yang
intinya menjadikan Ternate sebagai kerajaan dependen Belanda. Perjanjian ini
mengakhiri masa Ternate sebagai negara berdaulat.
Meski
telah kehilangan kekuasaan mereka, beberapa sultan Ternate berikutnya tetap
berjuang mengeluarkan Ternate dari cengkeraman Belanda. Dengan kemampuan yang
terbatas karena selalu diawasi mereka hanya mampu menyokong perjuangan
rakyatnya secara diam–diam. Yang terakhir tahun 1914 Sultan Haji Muhammad Usman
Syah (1896-1927) menggerakkan perlawanan rakyat di wilayah–wilayah
kekuasaannya, bermula di wilayah Banggai dibawah pimpinan Hairuddin
Tomagola namun gagal.
Di Jailolo rakyat
Tudowongi, Tuwada dan Kao dibawah pimpinan Kapita Banau berhasil menimbulkan
kerugian di pihak Belanda, banyak prajurit Belanda yang tewas termasuk
Controleur Belanda Agerbeek dan markas mereka diobrak–abrik. Akan tetapi karena
keunggulan militer serta persenjataan yang lebih
lengkap dimiliki Belanda perlawanan tersebut berhasil dipatahkan, kapita Banau
ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung. Sultan Haji Muhammad Usman Syah
terbukti terlibat dalam pemberontakan ini oleh karenanya berdasarkan keputusan
pemerintah Hindia Belanda, tanggal 23 September 1915 no. 47, Sultan Haji
Muhammad Usman Syah dicopot dari jabatan sultan dan seluruh hartanya disita,
dia dibuang ke Bandung tahun 1915
dan meninggal disana tahun 1927.
Pasca
penurunan Sultan Haji Muhammad Usman Syah jabatan sultan sempat lowong selama
14 tahun dan pemerintahan adat dijalankan oleh Jogugu serta dewan kesultanan.
Sempat muncul keinginan pemerintah Hindia Belanda untuk menghapus Kesultanan
Ternate namun niat itu urung dilaksanakan karena khawatir akan reaksi keras
yang bisa memicu pemberontakan baru sementara Ternate berada jauh dari pusat
pemerintahan Belanda di Batavia.