Sabtu, 30 Januari 2021

SKI IX MTs

                             SEJARAH MASUKNYA ISLAM DI INDONESIA

 

Jalur Masuknya Islam di Indonesia

a.       Teori Gujarat

Teori ini dipopulerkan oleh seorang orientalis yang meneliti tentang Islam Indonesia dia adalah Snouck Hurgronje. Ia menyatakan bahwa agama Islam baru masuk ke Nusantara pada abad ke-13 Masehi yang dibawa oleh para pedagang dari Kambay, Gujarat, India. Memang sebagian besar sejarawan asal Belanda, memegang teori bahwa Islam di Indonesia berasal dari Anak Benua India.

 

Salah seorang ilmuwan barat tersebut adalah Pijnappel yang mengemukakan teori ini, dia mengkaitkan asal mula Islam di Indonesia dengan daerah Gujarat dan Malabar. Menurutnya, orang-orang Arab bermadzhab Syafi’i yang bermigrasi dan menetap di wilayah India yang kemudian membawa Islam ke Nusantara. Kemudian Snouck Hurgronje mengembangkan teori ini, dia berpendapat bahwa ketika Islam tiba di beberapa kota pelabuhan Anak Benua India, banyak di antara mereka beragama Islam yang tinggal di sana sebagai pedagang perantara dalam perdagangan Timur Tengah dengan Nusantara. Kemudian mereka datang ke dunia Melayu (Indonesia) sebagai para penyebar Islam pertama, setelah itu baru mereka disusul oleh orang-orang Arab. Dia mengatakan bahwa abad ke-12 sebagai periode paling mungkin dari permulaan penyebaran Islam di Nusantara. Jan Pijnappel adalah seorang orientalis dari Universitas Leiden Belanda yang fokus pada manuskrip melayu. Diantaranya ia pernah menulis ulang Kisah Pelayaran Abdullah ke Kelantan untuk Pelajar Melayu. Dia juga mengedit naskah Maleisch-hollandsch woordenboek atau Kamus Belanda-Melayu yang kemudian diterbitkan pada tahun 1875. Sarjana Belanda ini juga menulis kajian tentang Pantun Melayu yang diterbitkan tahun 1883 dengan judul Over de Maleische Pantoens. Selain menerbitkan karya sendiri, Pijnappel juga menerbitkan karya penelitian tentang Kalimantan yang ditulis oleh Carl A.L.M. Schwaner, yang pernah ditunjuk Kerajaan Leiden mejadi Anggota Dewan Sains di Hindia-Belanda. Orientalis yang wafat tahun 1901 itu menyatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara lewat pedagang dari Gujarat. Penjelasan ini didasarkan pada seringnya kedua wilayah India dan Nusantara ini disebut dalam sejarah Nusantara klasik. Dalam penjelasan lebih lanjut, Pijnapel menyampaikan logika terbalik, yaitu bahwa meskipun Islam di Nusantara dianggap sebagai hasil kegiatan orang-orang Arab, tetapi hal ini tidak langsung datang dari Arab, melainkan dari India, terutama dari pesisir barat, dari Gujarat dan Malabar. Jika logika ini dibalik, maka dapat dinyatakan bahwa meskipun Islam di Nusantara berasal dari India, sesungguhnya ia dibawa oleh orang-orang Arab juga.

 

Selain Snouck Hurgronje dan Pijnappel masih ada beberapa sejarawan Belanda yang sepakat bahwa Islam di Nusantara datang dari Gujarat dengan alasan bahwa batu nisan makam Raja Malik al-Saleh yang merupakan raja kerajaan Samudera Pasai, Aceh, batu nisan ini bertuliskan angka tahun 686H/1297M menggunakan nisan yang berasal dari Gujarat, India. Selain itu batu nisan yang terdapat di makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik, Jawa Timur juga menunjukkan hal yang sama. Kedua batu nisan tersebut memiliki persamaan bentuknya dengan batu nisan yang terdapat di Cambay, Gujarat, India yang sering digunakan oleh pemeluk agama Hindu Gujarat untuk membangun kuil-kuil mereka. Dengan beberapa alasan tersebut mereka meyimpulkan bahwa Islam di Nusantara berasal dari India.

 

Namun teori Gujarat ini banyak mendapat kritikan. Menurut Azyumardi Azra ada beberapa kelemahan-kelemahan dari teori yang dikemukaan diatas, teori India yang dikembangkan oleh sarjana-sarjana Belanda ini memiliki kelemahan antara lain; terlihat bahwa pada masa itu India diperintah oleh seorang yang beragama Hindu, sehingga kecil kemungkinan adanya hubungan antara Islam yang berkembang di Indonesia dengan Islam di India pada saat itu yang menjadi minoritas. Selain itu kelemahan teori ini terlihat dari pemahaman keagamaan atau mazhab yang dianut oleh masyarakat India dan Indonesia. Muslim India yang pada waktu itu masih berjumlah sedikit, sebagian besar penganutnya bermadzhab Hanafi yang Syi’ah sementara Islam yang berkembang di Indonesia bermazhab Syafi’i yang Sunni. Selain itu, meskipun batu nisan Raja Samudera Pasai al-Malik al-Shaleh menggunakan batu dari Cambay, Gujarat India, penggunaan gelar “Al-Malik” merupakan gelar yang berasal dari Arab-Mesir. Sanggahan lain adalah bukti telah munculnya Islam pada masa awal dengan bukti tarikh Nisan Fatimah binti Maimun (1082M) di Gresik, Jawa Timur. Fatimah binti Maimun bin Hibatullah adalah seorang perempuan beragama Islam yang wafat pada hari Jumat, 7 Rajab 475 Hijriyah (2 Desember 1082 M). Batu nisannya ditulis dalam bahasa Arab dengan huruf kaligrafi bergaya Kufi, serta merupakan nisan kubur Islam tertua yang ditemukan di Nusantara. Makam tersebut berlokasi di desa LeranKecamatan Manyar, sekitar 5 km arah utara kota GresikJawa Timur. Batu nisan tersebut memiliki perbedaan dengan batu nisan yang berada di Pasai maupun di makan Maulana Malik Ibrahim. Dalam keterangan di batu nisan yang terdapat di Pasai dan makam Maulana Malik Ibrahim pun memiliki keterangan waktu abad ke 13 M, sementara makam Fatimah binti Maimun sudah sangat jelas menunjukkan waktu abad ke-10 M. Artinya Islam telah masuk ke bumi Indonesia sebelum abad ke-10 M. Keterangan yang bisa kita gali dari makam Fatimah binti maimun juga menunjukkan bahwa beliau bukanlah dari India melainkan dari tanah Arab. Informasi inilah yang kemudian menguatkan teori berikutnya yaitu teori Arab.

 

b.      Teori Arab

Teori Arab dalam sejarah masuknya Islam ke Indonesia mengatakan bahwa Islam datang ke Indonesia secara langsung dari Arab tidak melalui perantara bangsa lain dahulu. Beberapa bukti sejarah dikemukakan untuk menguatkan teori ini. Teori ini mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia langsung dari Mekkah (Arab) sebagai pusat agama Islam sejak abad ke-7.

 

Salah satu sejarawan yang mendukung teori ini ialah Prof. Hamka. Dia menyatakan bahwa Islam sudah datang ke Indonesia pada abad pertama Hijriah (abad ke 7-8 M) langsung dari Arab dengan bukti jalur perdagangan yang ramai dan bersifat internasional sudah dimulai melalui selat Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang di Cina (Asia timur), Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani Umayyah di Asia Barat. Menurutnya, motivasi awal kedatangan orang Arab tidak dilandasi oleh nilai-nilai ekonomi, melainkan didorong oleh motivasi spirit penyebaran agama Islam. Dalam pandangan Hamka, jalur perdagangan antara Indonesia dengan Arab telah berlangsung jauh sebelum tarikh masehi.

 

Hamka berpendapat bahwa pada tahun 625 M sebuah naskah Tiongkok yang dicatat oleh Pendeta Budha I-Tsing yang melakukan perjalanan dari Canton menuju India. Perjalanan teresbut menggunakan kapal Posse dan pada tahun 674M ia singgah di Bhoga (yang sekarang dikenal dengan Palembang, Sumatera Selatan) di Bhoga ia menemukan kelompok bangsa Arab yang telah bermukim di pantai Barat Sumatera (Barus) tersebut. Sebagian orang-orang Arab ini diceritakan melakukan perkawinan dengan wanita lokal. Komunitas Arab ini disebutnya sebagai komunitas Ta-Shih dan Posse. Mereka adalah para pedagang yang telah lama menjalin hubungan perdagangan dengan kerajaan Sriwijaya. Karena demi hubungan perdagangan itulah kemudian kerajaan Sriwijaya memberikan daerah khusus untuk mereka. Menurut T.W. Arnold, disamping melakukan perdagangan, anggota komunitas Muslim ini juga melakukan kegiatan-kegiatan penyebaran dakwah Islam.

 

Selain Hamka, Thomas W Arnold juga berpandangan bahwa, para pedagang Arab telah menyebarkan Islam ketika mereka menjadi pemain dominan dalam perdagangan Barat-Timur sejak abad-abad awal Hijriah atau abad ke-7 dan ke-8 Masehi. Meskipun tidak terdapat catatan-catatan sejarah tentang kegiatan mereka dalam penyebaran Islam, namun ia berasumsi bahwa mereka juga terlibat dalam penyebaran Islam kepada penduduk lokal di Indonesia.

 

Selain kedua tokoh tersebut, beberapa tokoh sejarawan juga mendukung teori ini, antara lain Uka Tjandrasasmita, A. Hasymi, Azyumardi Azra dan lain-lain.

 

Selain informasi tersebut, Azyumardi Azra menambahkan, bahwa ditemukannya  adaptasi-adaptasi lain yang dilakukan oleh bangsa Indonesia atas pengaruh bangsa Arab ini. Misalnya saja dari segi bahasa dan tradisi, misalnya pada kata dan tradisi bersila yang sering dilakukan oleh bangsa Indoensia adalah tradisi yang dilakukan oleh tradisi bangsa Arab atau Persia yang egaliter. 

 

Sedangkan, Sayyed Naquib Al Attas dalam bukunya “Islam dan Sejarah Kebudayaan Melayu” menyatakan bahwa sebelum abad XVII seluruh literatur Islam yang relevan tidak mencatat satupun penulis dari India. Pengarang-pengarang yang dianggap oleh Barat sebagai India ternyata berasal dari Arab atau Persia, bahkan apa yang disebut berasal dari Persia ternyata berasal dari Arab, baik dari aspek etnis maupun budaya. Nama-nama dan gelar pembawa Islam pertama ke Nusantara menunjukkan bahwa mereka orang Arab atau Arab-Persia. Diakui, bahwa setengah mereka datang melalui India, tetapi setengahnya langsung datang dari Arab, Persia, Cina, Asia Kecil, dan Magrib (Maroko). Meski demikian, yang penting bahwa faham keagamaan mereka adalah faham yang berkembang di Timur Tengah kala itu, bukan India. Sebagai contoh adalah corak huruf, nama gelaran, hari-hari mingguan, cara pelafalan Al-Quran yang keseluruhannya menyatakan ciri tegas Arab.

 

Disamping pendapat di atas, makam Fatimah Binti Maimun di Leran Jawa Timur semakin menguatkan teori ini. Fatimah binti Maimun bin Hibatullah adalah seorang perempuan beragama Islam yang wafat pada hari Jumat, 7 Rajab 475 Hijriyah (2 Desember 1082 M). Inskripsi nisan terdiri dari tujuh baris, berikut ini adalah bacaan Jean Piere Moquette yang diterjemahkan oleh Muh. Yamin, sebagai berikut;

·       Atas nama Tuhan Allah Yang Maha Penyayang dan Maha Pemurah

·       Tiap-tiap makhluk yang hidup di atas bumi itu adalah bersifat fana

·       Tetapi wajah Tuhan-mu yang bersemarak dan gemilang itu tetap kekal adanya

·       Inilah kuburan wanita yang menjadi kurban syahid bernama Fatimah binti Maimun

·       Putera Hibatu'llah yang berpulang pada hari Jumiyad ketika tujuh

·       Sudah berlewat bulan Rajab dan pada tahun 495

·       Yang menjadi kemurahan Tuhan Allah Yang Maha Tinggi

·       Bersama pula Rasulnya Mulia

                   Baris 1 merupakan basmalah sedangkan baris 2-3 merupakan kutipan    Surah Ar-       Rahman ayat 25-26, yang umum dalam epitaf umat Muslim,         terutama di Mesir.

Selain argumen di atas, Azyumardi berpendapat tentang masuknya Islam ke Nusantara. Menurut Azyumardi bahwa Islam datang di Nusantara pada abad ke-7 M, namun baru dianut oleh para pedagang-pedagang Arab yang berdagang di Nusantara saja dan baru mulai tersebar dan dianut oleh masyarakat Nusantara pada abad ke-12, yang disebarkan oleh para sufi pengembara yang berasal dari Arab. Alasan ini dikuatkan oleh corak Islam awal yang di anut oleh masyarakat Nusantara ialah Islam sufistik, karena pada masa al-Gazali (Dinasti Abbasiyah) muncul sufi-sufi pengembara yang bertujuan untuk menyebarkan Islam tanpa pamrih, maka sufi-sufi inilah yang disinyalir datang dan menyebarkan Islam di Nusantara.

                                                                           

c.       Teori Persia

Pembangun teori Persia ini adalah Hoesein Djajaningrat. Teori Persia lebih menitikberatkan tinjauannya kepada kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat Islam Indonesia yang dirasakan mempunyai persamaan dengan Persia di antaranya,

a.       Peringatan 10 Muharram atau Asyura atas meninggalnya Hasan dan Husein cucu Nabi Muhammad, yang sangat di junjung oleh orang Syiah/Islam Iran. Di Sumatra Barat peringatan tersebut disebut dengan upacara Tabuik/Tabut. Sedangkan di pulau Jawa ditandai dengan pembuatan bubur Syuro.

b.      Kesamaan ajaran Sufi yang dianut Syaikh Siti Jennar dengan sufi dari Iran yaitu Al – Hallaj.

c.       Penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab untuk tanda- tanda bunyi Harakat.

d.      Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik.

e.       Adanya perkampungan Leren/Leran di Giri daerah Gresik. Leren adalah nama salah satu Pendukung teori ini yaitu Umar Amir Husen dan P.A. Hussein Jayadiningrat.

  Djajaningrat juga dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang mempertahankan disertasi di Universitas Leiden, Belanda, pada 1913. Disertasinya tersebut berjudul Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten (Pandangan Kritis mengenai Sejarah Banten).

 

d.      Teori China

Teori Cina mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia (khususnya di Jawa) berasal dari para perantau Cina. Menurut teori ini, orang Cina telah berhubungan dengan masyarakat Indonesia jauh sebelum Islam dikenal di Indonesia. Pada masa         Hindu-Buddha, etnis Cina atau Tiongkok telah berbaur dengan penduduk Indonesia terutama melalui kontak dagang. Bahkan, ajaran Islam telah sampai di Cina pada abad ke-7 M, masa di mana agama ini baru berkembang. Sumanto Al Qurtuby dalam bukunya Arus Cina-Islam-Jawa menyatakan, menurut kronik (sumber luar negeri) pada masa Dinasti Tang (618-960) di daerah Kanton, Zhang-zhao, Quanzhou, dam pesisir Cina bagian selatan, telah terdapat sejumlah pemukiman Islam.

 

Teori Cina didasarkan pada  sumber luar negeri (kronik) maupun                lokal (babad dan hikayat). Bahkan menurut sejumlah sumber lokat tersebut ditulis bahwa raja Islam pertama di Jawa, yakni Raden Patah dari Bintoro Demak, merupakan keturunan Cina. Ibunya disebutkan   berasal dari Campa, Cina bagian selatan (sekarang termasuk Vietnam). Berdasarkan Sajarah Banten dan Hikayat Hasanuddin, nama dan gelar raja-raja Demak beserta leluhurnya ditulis dengan menggunakan istilah Cina, seperti “Cek Ko Po”, “Jin Bun”, “Cek Ban Cun”, “Cun Ceh”, serta “Cu-cu”. Nama-nama seperti “Munggul” dan “Moechoel” ditafsirkan merupakan kata lain dari Mongol, sebuah wilayah di utara Cina yang berbatasan dengan Rusia. Bukti-bukti lainnya adalah masjid-masjid tua yang bernilai arsitektur                 Tiongkok yang didirikan oleh komunitas Cina di berbagai tempat, terutama di Pulau Jawa.

 

Pelabuhan penting sepanjang pada abad ke-15 seperti Gresik, misalnya, menurut catatan-catatan Cina, diduduki pertama-tama oleh para pelaut dan pedagang Cina. Diperkuat pula oleh pendapat dari KH.Abdurrahman Wahid yang        menyatakan bahwa Terdapat tiga gelombang kedatangan Islam di Nusantara. Gelombang pertama berasal dari perwira-perwira atau tokoh-tokoh Islam di Cina. Gelombang kedua berasal dari Bangladesh yang membawa pengaruh Mazhab Syafi’i. Gelombang ketiga berasal dari para pedagang Gujarat.

 

Daerah yang mula-mula menerima Agama Islam adalah Pantai Barat pulau Sumatera. Dari tempat itu, Islam kemudian menyebar ke seluruh Indonesia. Beberapa tempat penyebarannya adalah :

a.     Pesisir Sumatera bagian Utara di Aceh

b.    Pariaman di Sumatera Barat

c.     Gresik dan Tuban di Jawa Timur

d.    Demak di Jawa Tengah

e.     Banten di Jawa Barat

f.     Palembang di Sumatera Selatan

g.    Banjar di Kalimantan Selatan

h.     Makassar di Sulawesi Selatan

i.      Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo di Maluku

j.      Sorong di Irian Jaya

 

Strategi Dakwah dan Perkembangan Islam di Indonesia

a.    Perdagangan

   Berdasarkan data sejarah bahwa perdagangan merupakan media dakwah yang paling banyak dilakukan oleh para penyebar agama Islam di Indonesia. Hal ini dapat kita lihat dari adanya kesibukan lalu lintas perdagangan pada abad ke 7 M hingga ke 16 M. Jalur ini dimungkinkan karena orang-orang melayu telah lama menjalin kontak dagang dengan orang Arab. Apalagi setelah berdirinya kerajaan Islam seperti kerajaan Islam Malaka dan kerajaan Samudra Pasai di Aceh, maka makin ramailah para ulama dan pedagang Arab datang ke Nusantara (Indonesia). Disamping mencari berdagang mereka juga mencari menyiarkan agama Islam. Fakta sejarah ini dapat diketahui berdasarkan data dan informasi yang dicatat oleh Tome’Pires bahwa seorang musafir Portugis menceritakan tentang penyebaran Islam antara tahun 1512 sampai tahun 1515 Masehi, yang meliputi Sumatera, Kalimantan, Jawa hingga kepulauan Maluku. Ia juga menyatakan bahwa pedagang muslim banyak yang bermukim di pesisir Pulau Jawa yang ketika itu masih penganut Hindu dan Budha maupun animisme dan dinamisme. Para penyebar agama Islam berhasil mendirikan masjid-masjid dan mendatangkan para ahli agama dari luar sehingga jumlah mereka semakin bertambah banyak.

 

b.    Perkawinan

Proses penyebaran Islam di Indonesia juga banyak dilakukan melalui pernikahan antara para pedagang muslim dengan wanita Indonesia. Jalur perdagangan internasional yang dikuasai oleh para pedagang muslim menjadikan para pedagang Islam memiliki kelebiahn secara ekonomi. Para pedagang muslim yang tertarik dengan wanita-wanita Indonesia yang ingin menikah mensyaratkan agar para wanita tersebut haruslah memeluk Islam sebagai prasayarat dalam sebuah pernikahan. Karena di dalam Islam tidak diperbolehkan pernikahan dengan perbedaan agama. Dan para penduduk lokal tidak keberatan dengan prasayarat tersebut. Dari pernikahan ini bukan hanya menjadikan penganut agama Islam semakin banyak, namun juga semakin mengukuhkan generasi-generasi Islam di Indonesia buah dari pernikahan mereka. Apalagi jika yang terjadi adalah pernikahan antara keluarga bangsawan dengan keluarga parasaudagar muslim. Tentu akan semakin menguatkan posisi tawar mereka di masyarakat. Dari pernikahan ini kemdian terbentuklah komunitas-komunitas muslim di Indonesia. Sebagai contoh yang dapat dikemukakan adalah pernikahan antara Raden Rahmat atau Sunan Ampel dengan Nyai Manila dan antara Sunan Gunung Jati dengan Puri Kawunganten, Raja Brawijaya dengan Putri Campa dan lain-lain.

 

c.    Pendidikan

Proses masuknya Islam juga dilakukan melalui proses pendidikan. Para ulama banyak yang mendirikan lembaga pendidikan Islam. Di lembaga pendidikan inilah para ulama semakin menguatkan posisi agama Islam dengan pengajaran-pengajaran ajaran agama Islam. Salah satu lembaga pendidikan Islam yang menjadi ciri awal penyebaran Islam adalah pesantren. Istilah pesantren untuk menunjukkan sebuah lembaga pendidikan banyak digunakan oleh ulama jawa dan madura sementara di Aceh dikenal dengan “dayah” dan di Minangkabau dikenal dengan nama “Surau”. Awalnya pesantren atau dayah atau surau adalah bentuk kegiatan keagamaan yang kemudian berubah menjadi suatu lembaga kegiatan kependidikan. Bahkan dalam catatan Howard M. Federspiel-salah seorang pengkaji keIslaman di Indonesia, menjelang abad ke-12 pusat-pusat pendidikan di Aceh, Palembang (Sumatera), Jawa Timur dan di Gowa (Sulawesi) pesantren atau dayah telah menghasilkan tulisan-tulisan penting dan menarik santri untuk belajar. Dalam literatur sejarah, pesantren banyak diasosiasikan mendapat pengaruh dari kegiatan pendidikan Hindu dan Budha. Kata “santri” juga menunjukkan seseorang yang sedang menuntut ilmu agama Budha secara mendalam di kuil-kuil Budha untuk kemudian dijadikan calon-calon pemuka agama atau bhiksu. Kata santri Pertama, berasal dari bahasa sansekerta, yaitu "sastri", yang berarti orang yang melek huruf. Kedua, berasal dari bahasa jawa, yaitu "cantrik", yang berarti seseorang yang mengikuti pemuka agama (bhiksu) di mana pun ia pergi dan menetap untuk menguasai suatu keahlian tersendiri.

Di antara lembaga pendidikan pesantren yang tumbuh pada masa awal Islam adalah Pesantren yang didirikan oleh Raden Rahmat di Ampel Denta. Pesantren Giri yang didirikan oleh Sunan Giri yang popularitasnya melampaui batas pulau Jawa hingga ke Maluku. Bahkan menurut catatan sejarah Sunan Giri dan para ulama lainnya pernah diundang ke Maluku untuk memberikan pelajaran agama Islam. Banyak dari mereka yang menjadi guru, khatib (pengkhutbah), hakim (qadli) bahkan muadzin di Maluku dengan imbalan berupa cengkeh.Dengan cara-cara pendidikan tersebut agama Islam terus meluas ke seluruh penjuru nusantara.

 

d.   Tasawuf

Para penganut tasawuf atau sufi umumnya adalah pengembara. Mereka dengan sukarela mengajar penduduk lokal berbagai hal. Mereka sangat memahami para penduduk lokal dari berbagai sisi. Para sufi memiliki sifat dan berbudi pekerti yang baik sehingga memudahkan mereka bergaul dan memahami masayarakat setempat. Mereka memahami kemiskinan dan keterbelakangan sekaligus juga memahami kesehatan spiritual masyarakat. Mereka juga memahami hal magis yang menjadi satu bidang yang digandrungi masyarakat yang menganut paham animisme dan dinamisme kala itu, hal menjadikan para sufi ini mampu melihat celah yang dapat dimasuki ajaran-ajaran Islam. Dengan tasawuf bentuk ajaran Islam yang disampaikan kepada penduduk pribumi mempunyai persamaan dengan alam pikiran mereka. Di antara para sufu yang memberikan ajaran Islam kepada masyarakat adalah Hamzah Fansury dari Aceh, Syekh Lemah Abang, dan Sunan Panggung dari Jawa. Bahkan pengikutnya masih banyak hingga kini.

 

e.    Kesenian dan Budaya

Para tokoh Muslim ini mengajarkan agama Islam menurut bahasa dan adat istiadat setempat. Mereka inilah yang memiliki peran besar dalam menyebarkan dan mengembangkan Islam di Indonesia. Sebagian besar nama-nama mereka telah melegenda, seperti WaliSanga. Penyebaran Islam melalui kesenian atau budaya sepertinya yang paling banyak mempengaruhi masyarakat. Penyebaran Islam melalui kesenian berupa wayang, sastra, dan berbagai kesenian lainnya. Pendekatan jalur kesenian dilakukan oleh para penyebar Islam seperti WaliSanga untuk menarik perhatian di kalangan mereka, sehingga dengan tanpa terasa mereka telah tertarik kepada ajaran-ajaran Islam sekalipun pada awalnya mereka tertarik karena media kesenian itu. Misalnya, Sunan Kalijaga adalah tokoh seniman wayang. Ia tidak pernah meminta bayaran pertunjukkan seni, tetapi ia meminta para penonton untuk mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian cerita wayang masih dipetik dari cerita Mahabarata dan Ramayana, tetapi di dalam cerita itu disisipkan ajaran dan nama-nama pahlawan Islam. Kesenian-kesenian lain juga dijadikan media islamisasi, seperti sastra (hikayat, babad, dan sebagainya), seni arsitektur seperi terlihat pada masjid-masjid peninggalan para ulama wali Sanga, dan seni ukir yang terdapat pada kediaman atau pada masjid-masjid peninggalan para wali.

 Bacalah materi di atas kemudian foto kirim ke wa saya

Jumat, 29 Januari 2021

Aqidah Akhlaq XII MA

 Selasa 27 Juli 2021

Ragam Sifat tercelah

 

A.     Hoaks

1.           Pengertian Hoaks

Hoaks adalah berita bohong. Menyebarkan hoaks merupakan sikap tercela yang sering terjadi di zaman modern ini. Seringkali hoaks dibuat untuk menggiring pikiran manusia pada pandangan tertentu. Pandangan yang akan menyesatkan manusia dan menjauhkan mereka dari kebenaran berita. Orang yang menyebarkan hoaks ialah orang yang lemah imannya karena ia tetap menyebarkan hoaks meskipun mengetahui bahwa hoaks akan menimbulkan kekacauan atau karena ia tetap menyebarkan berita tanpa diklarifikasi kebenarannya dahulu.

Adanya hoaks merugikan tiap orang baik penyebarnya, sasarannya atau pun orang yang percaya dengan hoaksnya. Penyebarnya akan dijuluki sebagai pendusta, sasarannya akan buruk namanya, dan orang yang percaya dengan hoaks akan memiliki prasangka buruk pada sasaran hoaks. Oleh karena itu sebagai manusia yang dengan dibekali akal, sangat penting untuk kita berhati-hati dalam berbicara, tulus beribadah kepada Allah, dan tidak mudah percaya dan menyebarkan berita yang

belum terbukti kebenarannya. Allah Swt. berfirman:

 

“Sesungguhnya   jika   tidak   berhenti   orang-orang   munafik,   orang-orang   yang

berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah  (dari  menyakitimu),  niscaya  Kami  perintahkan kamu (untuk memerangi)

 

mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar, (QS. al-Aḥzāb [33]:60)

Hoaks bukanlah masalah yang baru dalam Islam. Hoaks pernah terjadi pada zaman Rasulullah. Hal itu terlihat pada kabar bohong yang ditimpakan kepada Siti ‘Aisyah, istri Rasulullah..

2.       Hoaks dalam Islam

Islam melarang menyebarkan berita yang belum terbukti kebenarannya karena akan menimbulkan fitnah di mana-mana. Hoaks akan menjadikan seseorang menjadi tidak dipercaya lagi di masyarakat. Oleh karena itu hoaks harus benar-benar dijauhi oleh semua orang. Di antara bahaya hoaks adalah

a.       Menyebabkan kepanikan masyarakat

Ketika mendengar suatu kabar, harusnya masyarakat membaca dan memahami kabar tersebut sebelum menyebarkannya. Butuh usaha untuk mengatakan bahwa kabar tersebut adalah benar. Akan tetapi, banyak orang yang malas memahami kabar yang muncul. Mereka hanya menggerakkan jempol pada perintah “share” sesaat setelah mengetahui adanya berita yang muncul. Perilaku membagikan kabar yang belum terverifikasi akan membuat kegaduhan pada orang-orang yang ada di sekitarnya. Kabar itu akan menimbulkan kepanikan-kepanikan sehingga berujung berbagai aksi kepada sasaran hoaks.

b.      Meretaknya hubungan masyarakat

Dengan adanya hoaks tentang seseorang atau kelompok tertentu, beberapa orang dan kelompok lainnya akan memiliki stigma negatif sesuai dengan hoaks yang disebarkan. Hal tersebut akan merenggangkan hubungan baik dalam masyarakat.

c.       Membuang waktu dan harta dengan sia-sia

Seseorang yang mencintai hoaks akan merelakan waktu dan hartanya mengalir dengan sia-sia. Ia mengorbankan waktu dan hartanya bukan untuk mencari keridhaan Allah melainkan hanya untuk bersenang-senang saja. Dengan adanya hoaks, dia rela menyisihkan waktu dan hartanya untuk melakukan aksi yang merupakan kelanjutan dari adanya hoaks..

d.      Dibenci oleh Allah Swt.

Allah mencintai kebaikan dan sangat membenci keburukan salah satunya yaitu penyebaran hoaks. Tidak akan ada kenyamanan bagi seorang yang

 

hidupnya hanya menyebarkan kebohongan. Bagi mereka adalah dosa yang amat berat kecuali bila mereka bertaubat dan tidak mengulangi perbuatannya.

Dengan banyaknya bahaya hoaks ini, kita memerlukan cara untuk menghindari perilaku menyebarkan hoaks. Beberapa caranya di antaranya adalah:

a.        Meningkatkan ketaatan kepada Allah

Hamba yang taat akan selalu berpegang teguh pada ajaran Allah. Ia akan memgedepankan prasangka baik daripada prasangka buruk kepada orang lain. ia juga tidak akan berbicara dan bertindak buruk kepada orang lain. Oleh karena itu, ia tidak akan mudah mempercayai kabar-kabar yang muncul, apalagi kabar yang dibuat-buat untuk merendahkan derajat seseorang atau kelompok.

b.        Menyaring Informasi

Apabila mendengar suatu informasi dari orang lain hendaknya kita mengklarifikasi kebenaran informasi itu sebelum menyebarkannya. Kita bisa memahami suatu berita dan membandingkannya dengan berita yang sama dari portal berita yang lain. Selain membandingkannya, kita bisa juga melihat bagaimana track record portal berita yang menyebarkan berita tersebut  sehingga kualitas berita dalam portal berita tersebut.

c.        Menyibukkan dengan hal positif

Cara menghindari hoaks juga bisa dilakukan dengan menyibukkan diri dengan hal positif. Seperti seorang yang sibuk dengan hobinya, ia tidak akan membuang waktunya untuk urusan-urusan lain di luar hobinya.

 

B.        Adu Domba

1.           Pengertian Adu Domba

Adu domba juga disebut dengan namīmah. Dalam KBBI, adu domba adalah menjadikan berselisih di antara pihak yang sepaham. Menurut al-Baghawi, adu domba adalah mengutip suatu perkataan dengan tujuan untuk mengadu antara seseorang dengan si pembicara. Menurut Imam al-Ghazali, adu domba adalah mengungkapkan sesuatu yang tidak suka untuk diungkap baik oleh orang yang mengungkapkan, orang yang diungkap, atau pun orang yang mendengar ungkapan tersebut, baik yang berupa perkataan maupun perbuatan, baik berupa aib atau pun pujian. Rasulullah Saw. bersabda:

 

“Dari Abdullah bin Mas’ud, sesungguhnya Muhammad berkata, “Maukah kuberitahukan kepada kalian apa itu al’adhhu? Itulah namimah, perbuatan menyebarkan berita untuk merusak hubungan di antara sesama manusia”. (HR. Muslim)

Sikap adu domba bertujuan untuk merusak hubungan manusia di mana hubungan baik akan berubah menjadi buruk, perselisihan akan kerap terjadi, dan saling mengejek atau pun menghina akan semakin marak diucapkan. Imam Nawawi berkata:

الن َمِيمَة نَقْل كَلَامِ الن َاسِ بَعْضِﻬِمْ إِلَى بَعْضٍ عَلَى جَِةِ الْإِفْسَادِ بَيْنﻬمْ

“Para ulama menjelaskan namimah adalah menyampaikan perkataan seseorang kepada orang lain dengan tujuan merusak hubungan di antara mereka.”

 

2.           Adu Domba dalam Islam

Islam melarang umatnya melakukan adu domba karena menghancurkan hubungan yang sudah terbangun kokoh sehingga perintah untuk saling mengenal dan saling berbuat baik akan ditinggalkan. Selain hubungan yang akan hancur, adu domba akan memberikan beberapa dampak negatif lainnya, yaitu

a.       Mendapatkan siksa dan dosa

Rasulullah Saw. mengajarkan sahabatnya untuk tidak melakukan adu domba. Sikap itu akan membawa dosa dan siksa pada pelakunya dan kehancuran bagi orang-orang yang diadu domba. Rasulullah Saw. bersabda:

ع  “Dari Ibnu Abbas, ketika Rasulullah Saw. melewati sebuah kebun di Madinah atau Makkah beliau mendengar suara dua orang yang sedang disiksa dalam

kuburnya. Nabi bersabda, “Keduanya sedang disiksa dan tidaklah keduanya disiksa karena masalah yang sulit untuk ditinggalkan”. Kemudian beliau kembali bersabda, “Mereka tidaklah disiksa karena dosa yang mereka anggap dosa besar. Orang yang pertama tidak menjaga diri dari percikan air kencingnya sendiri. Sedangkan orang kedua suka melakukan adu domba”. (HR. Bukhari)

Selain pelaku adu domba akan mendapatkan siksa dan dosa, ia tidak

ditempatkan pada surga. Rasulullah Saw. bersabda:




Uji kompetensi Aqidah XII


ُ ُ


Soal Tryout UAMNUBK MA

 soal aqidah  Soal Try out Aqidah Akhlak UAMNUBK MA