Rabu, 02 September 2020

SKI XII MA

3 September 2020      

PERANAN KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA




KERAJAAN PERLAK 

Sejarah Berdirinya Kesultanan Perlak
Nama Perlak diambil dari nama Kayu Perlak. Kayu jenis ini merupakan kayu khas daerah Perlak. Atas dasar ini lah kemudian daerah penghasil kayu Perlak disebut dengan Negeri Perlak. Setelah perdagangan semakin ramai di Selat Malaka, maka para pedagang pun menyebut Negeri Perlak sebagai Bandar Perlak.
Kitab Negarakertagama menyebut negeri itu dengan nama Parlak. Sementara Marcopolo yang berkunjung ke negeri itu pada tahun 1292 mencatatnya dengan nama Negeri Ferlec. Sebelum berdirinya Kesultanan Perlak, di wilayah Perlak telah berdiri sebuah kerajaan bercorak Hindu-Buddha yang sederhana bernama Kerajaan Perlak. Raja yang berkuasa di kerajaan ini bergelar Meurah yang berarti maharaja.
Perlak semakin berkembang ketika dipimpin oleh Pangeran Salman, seorang pangeran yang memiliki darah Kisra Persia. Putri dari Pangeran Salman kemudian menikah dengan Muhammad Ja’far Shiddiq, seorang pendakwah dari negeri Arab, yang nantinya akan menurunkan pendiri Kesultanan Islam pertama di Nusantara.
Berdasarkan naskah Idhar al-Haq, sekitar tahun 790 M, sebuah kapal layar berlabuh di Bandar Perlak. Kapal tersebut membawa seratus juru dakwah yang dipimpin oleh nakhoda dari kekhalifahan Abbasiyah. Kapal itu datang dari Teluk Kambay, Gujarat dan berlabuh di Bandar Perlak. 
Salah seorang 
pendakwah itu bernama Ali ibn Muhammad Ja’far Shiddiq. Ia adalah seorang muslim Syiah yang melakukan pemberontakan kepada khalifah al-Makmun. Namun, usahanya itu menemui kegagalan, alhasil ia diperintahkan untuk berdakwah keluar dari negeri Arab sebagai hukumannya.
Setelah beberapa waktu berdakwah di Bandar Perlak, Ali ibn Muhammad Ja’far Shiddiq menikah dengan putri istana Perlak. Putra pertama hasil dari pernikahan itu bernama Syed Maulana Abdul Azz Syah. Ia mendirikan Kesultanan Perlak pada tahun 840 M, sebagai Kesultanan Islam (Syiah) pertama di Nusantara. Setelah berhasil mendirikan Kesultanan Perlak, ia memperoleh gelar Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Azis Syah.

Pergolakan Syiah dan Sunni di Kerajaan Perlak
Sultan pertama Perlak adalah Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Aziz Shah, yang beraliran Syiah dan merupakan keturunan Arab dengan perempuan setempat, yang mendirikan Kesultanan Perlak pada 1 Muharram 225 H (840 M). Ia mengubah nama ibukota kerajaan dari Bandar Perlak menjadi Bandar Khalifah. Sultan ini bersama istrinya, Putri Meurah Mahdum Khudawi, kemudian dimakamkan di Paya Meuligo, Peureulak, Aceh Timur.
Pada masa pemerintahan sultan ketiga, Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah, aliran Sunni mulai masuk ke Perlak. Setelah wafatnya sultan pada tahun 363 H (913 M), terjadi perang saudara antara kaum Syiah dan Sunni sehingga selama dua tahun berikutnya tak ada sultan.
Kaum Syiah memenangkan perang dan pada tahun 302 H (915 M), Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah dari aliran Syiah naik tahta. Pada akhir pemerintahannya terjadi lagi pergolakan antara kaum Syiah dan Sunni yang kali ini dimenangkan oleh kaum Sunni sehingga sultan-sultan berikutnya diambil dari golongan Sunni.
Pada tahun 362 H (956 M), setelah meninggalnya sultan ketujuh, Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat, terjadi lagi pergolakan selama kurang lebih empat tahun antara Syiah dan Sunni yang diakhiri dengan perdamaian dan pembagian kerajaan menjadi dua bagian. Yaitu, Perlak Pesisir (Syiah) dipimpin oleh Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah (986-988). Perlak Pedalaman (Sunni) dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986-1023).
Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah meninggal ketika Kerajaan Sriwijaya menyerang Perlak dan seluruh Perlak bersatu di bawah pimpinan Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat yang melanjutkan perjuangan melawan Sriwijaya hingga tahun 1006.
Sultan ke-17 Perlak, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat (memerintah 1230-1267) menjalankan politik persahabatan dengan menikahkan dua putrinya dengan penguasa negeri tetangga Peureulak.
Putri Ratna Kamala dikawinkan dengan Raja Kerajaan Malaka, Sultan Muhammad Shah (Parameswara). Putri Ganggang dikawinkan dengan Raja Kerajaan Samudera Pasai, Al Malik Al-Saleh.
Sultan terakhir Perlak adalah sultan ke-18, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat (memerintah 1267-1292). Setelah ia wafat, Perlak disatukan dengan Kerajaan Samudera Pasai di bawah pemerintahan Sultan Samudera Pasai, Sultan Muhammad Malik Al Zahir, putra Al Malik Al-Saleh. Penggabungan yang dilakukan Sultan Samudera Pasai itu menandai berakhirnya kesultanan pertama di Nusantara.


Daftar Sultan yang Pernah Berkuasa di Kesultanan Pelak:
1. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Azis Shah (840-864)
2. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Rahim Shah (864-888)
3. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah (888-913)
4. Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah (915-918)
5. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Shah Johan Berdaulat (928-932)
6. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah Johan Berdaulat (932-956)
7. Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat (956-983)
8. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986-1023)
9. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Shah Johan Berdaulat (1023-1059)
10Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mansur Shah Johan Berdaulat (1059-1078)
11. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdullah Shah Johan Berdaulat (1078-1109)
12. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ahmad Shah Johan Berdaulat (1109-1135)
13. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Shah Johan Berdaulat (1135-1160)
14. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Usman Shah Johan Berdaulat (1160-1173)
15. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Shah Johan Berdaulat (1173-1200)
16. Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Jalil Shah Johan Berdaulat (1200-1230)
17. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat (1230-1267
18. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat (1267-1292)

Sultan-sultan di atas dibagi dua dinasti. Yaitu Dinasti Syed Maulana Abdul Azis Shah dan Dinasti Johan Berdaulat, yang merupakan keturunan dari Meurah Perlak asli (Syahir Nuwi).

Masa Kejayaan Kerajaan Perlak

Masa kejayaan kerajaan ini berhasil didapatkan pada masa pemerintahan Muhammad Amin Syah Johan Berdaulat II. Kerajaan ini mampu berkembang terutama di bidang pendidikan Islam dan dakwah Islamiah.

Pada masa ini juga, raja mengawinkan dua 

putrinya dengan pangeran dari Kerajaan Samudera Pasai, yakni Putri Ganggang Sari dan Putri Ratna Kumala sehingga mendorong kesejahteraan kesultanan ini.

Selain itu, Kesultanan Perlak sangat tenar di kalangan para pedagang Arab dan non-Arab terutama Bandar Khalifah. Menurut Ali Hajsmy dalam bukunya Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Bandar Khalifah telah menjadi pelabuhan penting dan tempat persinggahan mereka dalam perjalanan ke Cina atau balik ke Asia Barat.

 

Peninggalan Kerajaan Perlak

Ada berbagai peninggalan Kerajaan Perlak, mulai dari mata uang, stempel, hingga makam raja. Mata uang kerajaan ini terdiri dari tiga

jenis, yakni emas (dirha), perak (kupang, dan tembaga atau kuningan.

Mata uang itu menjadi yang tertua di Tanah Air. Uniknya, pada salah satu sisinya terdapat tulisan 'A'la' dan sisi lainnya tertulis 'Sulthan' yang tertuju pada Perdana Menteri masa Sultan Makhdum Alaidin Ahmad Syah Jouhan Berdaulat.

Kemudian, peninggalan stempel kerajaan ini menggunakan bahasa Arab yang membentuk kalimat 'Al Wasiq Billah Kerajaan Negeri Bendahara Sanah 512' yang merupakan bagian dari Kerajaan Perlak.

Peninggalan raja terakhir adalah makam raja Benoa (Benoa adalah negara bagian dari Kerajaan Perlak) yang terletak di tepi sungai Trenggulon. Pada makam tersebut nisan dituliskan dengan bahasa Arab dan dibuat sekitar abad ke-4 H.

 

Runtuhnya Kerajaan Perlak

Kerjaan Perlak runtuh karena mengalami kemunduran. Diketahui, anggota keluarga kerajaan saling berebut kekuasaan pemerintahan sehingga membuat ketidakstabilan.

Para pedagang yang melihat hal itu akhirnya memutuskan untuk pergi ke tempat lain, yakni Pasai. Akhirnya kerajaan runtuh dan berganti menjadi Kerajaan Samudera Pasai.

Tugas SKI XII 

1. Baca Materi Kerajaan Perlak

2. kirim WA ke saya sebagai kehadiran kalian




 

Pertemuan 27 Agustus 2020
Tugas kelas 12c hari ini
1. Buka LKs SKI Bab II
2. Baca materi Bab II kemudian foto kamu sedang baca lalu kirim k wa sy sebagai absensi kalian
3. Selamat membaca













                                    Pertemuan pertama 30 Juli 2020 
           Teori masuknya Islam Ke Indonesia
 



Tugas Beri kesimpulan dari materi teiri diatas






Pertemuan Kedua, Kamis 6 Agustus 2020

SEJARAH MASUKNYA ISLAM DI INDONESIA

 

Jalur Masuknya Islam di Indonesia

a.       Teori Gujarat

Teori ini dipopulerkan oleh seorang orientalis yang meneliti tentang Islam Indonesia dia adalah Snouck Hurgronje. Ia menyatakan bahwa agama Islam baru masuk ke Nusantara pada abad ke-13 Masehi yang dibawa oleh para pedagang dari Kambay, Gujarat, India. Memang sebagian besar sejarawan asal Belanda, memegang teori bahwa Islam di Indonesia berasal dari Anak Benua India.

 

Salah seorang ilmuwan barat tersebut adalah Pijnappel yang mengemukakan teori ini, dia mengkaitkan asal mula Islam di Indonesia dengan daerah Gujarat dan Malabar. Menurutnya, orang-orang Arab bermadzhab Syafi’i yang bermigrasi dan menetap di wilayah India yang kemudian membawa Islam ke Nusantara. Kemudian Snouck Hurgronje mengembangkan teori ini, dia berpendapat bahwa ketika Islam tiba di beberapa kota pelabuhan Anak Benua India, banyak di antara mereka beragama Islam yang tinggal di sana sebagai pedagang perantara dalam perdagangan Timur Tengah dengan Nusantara. Kemudian mereka datang ke dunia Melayu (Indonesia) sebagai para penyebar Islam pertama, setelah itu baru mereka disusul oleh orang-orang Arab. Dia mengatakan bahwa abad ke-12 sebagai periode paling mungkin dari permulaan penyebaran Islam di Nusantara. Jan Pijnappel adalah seorang orientalis dari Universitas Leiden Belanda yang fokus pada manuskrip melayu. Diantaranya ia pernah menulis ulang Kisah Pelayaran Abdullah ke Kelantan untuk Pelajar Melayu. Dia juga mengedit naskah Maleisch-hollandsch woordenboek atau Kamus Belanda-Melayu yang kemudian diterbitkan pada tahun 1875. Sarjana Belanda ini juga menulis kajian tentang Pantun Melayu yang diterbitkan tahun 1883 dengan judul Over de Maleische Pantoens. Selain menerbitkan karya sendiri, Pijnappel juga menerbitkan karya penelitian tentang Kalimantan yang ditulis oleh Carl A.L.M. Schwaner, yang pernah ditunjuk Kerajaan Leiden mejadi Anggota Dewan Sains di Hindia-Belanda. Orientalis yang wafat tahun 1901 itu menyatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara lewat pedagang dari Gujarat. Penjelasan ini didasarkan pada seringnya kedua wilayah India dan Nusantara ini disebut dalam sejarah Nusantara klasik. Dalam penjelasan lebih lanjut, Pijnapel menyampaikan logika terbalik, yaitu bahwa meskipun Islam di Nusantara dianggap sebagai hasil kegiatan orang-orang Arab, tetapi hal ini tidak langsung datang dari Arab, melainkan dari India, terutama dari pesisir barat, dari Gujarat dan Malabar. Jika logika ini dibalik, maka dapat dinyatakan bahwa meskipun Islam di Nusantara berasal dari India, sesungguhnya ia dibawa oleh orang-orang Arab juga.

 

Selain Snouck Hurgronje dan Pijnappel masih ada beberapa sejarawan Belanda yang sepakat bahwa Islam di Nusantara datang dari Gujarat dengan alasan bahwa batu nisan makam Raja Malik al-Saleh yang merupakan raja kerajaan Samudera Pasai, Aceh, batu nisan ini bertuliskan angka tahun 686H/1297M menggunakan nisan yang berasal dari Gujarat, India. Selain itu batu nisan yang terdapat di makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik, Jawa Timur juga menunjukkan hal yang sama. Kedua batu nisan tersebut memiliki persamaan bentuknya dengan batu nisan yang terdapat di Cambay, Gujarat, India yang sering digunakan oleh pemeluk agama Hindu Gujarat untuk membangun kuil-kuil mereka. Dengan beberapa alasan tersebut mereka meyimpulkan bahwa Islam di Nusantara berasal dari India.

 

Namun teori Gujarat ini banyak mendapat kritikan. Menurut Azyumardi Azra ada beberapa kelemahan-kelemahan dari teori yang dikemukaan diatas, teori India yang dikembangkan oleh sarjana-sarjana Belanda ini memiliki kelemahan antara lain; terlihat bahwa pada masa itu India diperintah oleh seorang yang beragama Hindu, sehingga kecil kemungkinan adanya hubungan antara Islam yang berkembang di Indonesia dengan Islam di India pada saat itu yang menjadi minoritas. Selain itu kelemahan teori ini terlihat dari pemahaman keagamaan atau mazhab yang dianut oleh masyarakat India dan Indonesia. Muslim India yang pada waktu itu masih berjumlah sedikit, sebagian besar penganutnya bermadzhab Hanafi yang Syi’ah sementara Islam yang berkembang di Indonesia bermazhab Syafi’i yang Sunni. Selain itu, meskipun batu nisan Raja Samudera Pasai al-Malik al-Shaleh menggunakan batu dari Cambay, Gujarat India, penggunaan gelar “Al-Malik” merupakan gelar yang berasal dari Arab-Mesir. Sanggahan lain adalah bukti telah munculnya Islam pada masa awal dengan bukti tarikh Nisan Fatimah binti Maimun (1082M) di Gresik, Jawa Timur. Fatimah binti Maimun bin Hibatullah adalah seorang perempuan beragama Islam yang wafat pada hari Jumat, 7 Rajab 475 Hijriyah (2 Desember 1082 M). Batu nisannya ditulis dalam bahasa Arab dengan huruf kaligrafi bergaya Kufi, serta merupakan nisan kubur Islam tertua yang ditemukan di Nusantara. Makam tersebut berlokasi di desa Leran, Kecamatan Manyar, sekitar 5 km arah utara kota Gresik, Jawa Timur. Batu nisan tersebut memiliki perbedaan dengan batu nisan yang berada di Pasai maupun di makan Maulana Malik Ibrahim. Dalam keterangan di batu nisan yang terdapat di Pasai dan makam Maulana Malik Ibrahim pun memiliki keterangan waktu abad ke 13 M, sementara makam Fatimah binti Maimun sudah sangat jelas menunjukkan waktu abad ke-10 M. Artinya Islam telah masuk ke bumi Indonesia sebelum abad ke-10 M. Keterangan yang bisa kita gali dari makam Fatimah binti maimun juga menunjukkan bahwa beliau bukanlah dari India melainkan dari tanah Arab. Informasi inilah yang kemudian menguatkan teori berikutnya yaitu teori Arab.

 

b.      Teori Arab

Teori Arab dalam sejarah masuknya Islam ke Indonesia mengatakan bahwa Islam datang ke Indonesia secara langsung dari Arab tidak melalui perantara bangsa lain dahulu. Beberapa bukti sejarah dikemukakan untuk menguatkan teori ini. Teori ini mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia langsung dari Mekkah (Arab) sebagai pusat agama Islam sejak abad ke-7.

 

Salah satu sejarawan yang mendukung teori ini ialah Prof. Hamka. Dia menyatakan bahwa Islam sudah datang ke Indonesia pada abad pertama Hijriah (abad ke 7-8 M) langsung dari Arab dengan bukti jalur perdagangan yang ramai dan bersifat internasional sudah dimulai melalui selat Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang di Cina (Asia timur), Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani Umayyah di Asia Barat. Menurutnya, motivasi awal kedatangan orang Arab tidak dilandasi oleh nilai-nilai ekonomi, melainkan didorong oleh motivasi spirit penyebaran agama Islam. Dalam pandangan Hamka, jalur perdagangan antara Indonesia dengan Arab telah berlangsung jauh sebelum tarikh masehi.

 

Hamka berpendapat bahwa pada tahun 625 M sebuah naskah Tiongkok yang dicatat oleh Pendeta Budha I-Tsing yang melakukan perjalanan dari Canton menuju India. Perjalanan teresbut menggunakan kapal Posse dan pada tahun 674M ia singgah di Bhoga (yang sekarang dikenal dengan Palembang, Sumatera Selatan) di Bhoga ia menemukan kelompok bangsa Arab yang telah bermukim di pantai Barat Sumatera (Barus) tersebut. Sebagian orang-orang Arab ini diceritakan melakukan perkawinan dengan wanita lokal. Komunitas Arab ini disebutnya sebagai komunitas Ta-Shih dan Posse. Mereka adalah para pedagang yang telah lama menjalin hubungan perdagangan dengan kerajaan Sriwijaya. Karena demi hubungan perdagangan itulah kemudian kerajaan Sriwijaya memberikan daerah khusus untuk mereka. Menurut T.W. Arnold, disamping melakukan perdagangan, anggota komunitas Muslim ini juga melakukan kegiatan-kegiatan penyebaran dakwah Islam.

 

Selain Hamka, Thomas W Arnold juga berpandangan bahwa, para pedagang Arab telah menyebarkan Islam ketika mereka menjadi pemain dominan dalam perdagangan Barat-Timur sejak abad-abad awal Hijriah atau abad ke-7 dan ke-8 Masehi. Meskipun tidak terdapat catatan-catatan sejarah tentang kegiatan mereka dalam penyebaran Islam, namun ia berasumsi bahwa mereka juga terlibat dalam penyebaran Islam kepada penduduk lokal di Indonesia.

 

Selain kedua tokoh tersebut, beberapa tokoh sejarawan juga mendukung teori ini, antara lain Uka Tjandrasasmita, A. Hasymi, Azyumardi Azra dan lain-lain.

 

Selain informasi tersebut, Azyumardi Azra menambahkan, bahwa ditemukannya  adaptasi-adaptasi lain yang dilakukan oleh bangsa Indonesia atas pengaruh bangsa Arab ini. Misalnya saja dari segi bahasa dan tradisi, misalnya pada kata dan tradisi bersila yang sering dilakukan oleh bangsa Indoensia adalah tradisi yang dilakukan oleh tradisi bangsa Arab atau Persia yang egaliter. 

 

Sedangkan, Sayyed Naquib Al Attas dalam bukunya “Islam dan Sejarah Kebudayaan Melayu” menyatakan bahwa sebelum abad XVII seluruh literatur Islam yang relevan tidak mencatat satupun penulis dari India. Pengarang-pengarang yang dianggap oleh Barat sebagai India ternyata berasal dari Arab atau Persia, bahkan apa yang disebut berasal dari Persia ternyata berasal dari Arab, baik dari aspek etnis maupun budaya. Nama-nama dan gelar pembawa Islam pertama ke Nusantara menunjukkan bahwa mereka orang Arab atau Arab-Persia. Diakui, bahwa setengah mereka datang melalui India, tetapi setengahnya langsung datang dari Arab, Persia, Cina, Asia Kecil, dan Magrib (Maroko). Meski demikian, yang penting bahwa faham keagamaan mereka adalah faham yang berkembang di Timur Tengah kala itu, bukan India. Sebagai contoh adalah corak huruf, nama gelaran, hari-hari mingguan, cara pelafalan Al-Quran yang keseluruhannya menyatakan ciri tegas Arab.

 

Disamping pendapat di atas, makam Fatimah Binti Maimun di Leran Jawa Timur semakin menguatkan teori ini. Fatimah binti Maimun bin Hibatullah adalah seorang perempuan beragama Islam yang wafat pada hari Jumat, 7 Rajab 475 Hijriyah (2 Desember 1082 M). Inskripsi nisan terdiri dari tujuh baris, berikut ini adalah bacaan Jean Piere Moquette yang diterjemahkan oleh Muh. Yamin, sebagai berikut;

·       Atas nama Tuhan Allah Yang Maha Penyayang dan Maha Pemurah

·       Tiap-tiap makhluk yang hidup di atas bumi itu adalah bersifat fana

·       Tetapi wajah Tuhan-mu yang bersemarak dan gemilang itu tetap kekal adanya

·       Inilah kuburan wanita yang menjadi kurban syahid bernama Fatimah binti Maimun

·       Putera Hibatu'llah yang berpulang pada hari Jumiyad ketika tujuh

·       Sudah berlewat bulan Rajab dan pada tahun 495

·       Yang menjadi kemurahan Tuhan Allah Yang Maha Tinggi

·       Bersama pula Rasulnya Mulia

                   Baris 1 merupakan basmalah sedangkan baris 2-3 merupakan kutipan    Surah Ar-       Rahman ayat 25-26, yang umum dalam epitaf umat Muslim,         terutama di Mesir.

Selain argumen di atas, Azyumardi berpendapat tentang masuknya Islam ke Nusantara. Menurut Azyumardi bahwa Islam datang di Nusantara pada abad ke-7 M, namun baru dianut oleh para pedagang-pedagang Arab yang berdagang di Nusantara saja dan baru mulai tersebar dan dianut oleh masyarakat Nusantara pada abad ke-12, yang disebarkan oleh para sufi pengembara yang berasal dari Arab. Alasan ini dikuatkan oleh corak Islam awal yang di anut oleh masyarakat Nusantara ialah Islam sufistik, karena pada masa al-Gazali (Dinasti Abbasiyah) muncul sufi-sufi pengembara yang bertujuan untuk menyebarkan Islam tanpa pamrih, maka sufi-sufi inilah yang disinyalir datang dan menyebarkan Islam di Nusantara.

                                                                           

c.       Teori Persia

Pembangun teori Persia ini adalah Hoesein Djajaningrat. Teori Persia lebih menitikberatkan tinjauannya kepada kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat Islam Indonesia yang dirasakan mempunyai persamaan dengan Persia di antaranya,

a.       Peringatan 10 Muharram atau Asyura atas meninggalnya Hasan dan Husein cucu Nabi Muhammad, yang sangat di junjung oleh orang Syiah/Islam Iran. Di Sumatra Barat peringatan tersebut disebut dengan upacara Tabuik/Tabut. Sedangkan di pulau Jawa ditandai dengan pembuatan bubur Syuro.

b.      Kesamaan ajaran Sufi yang dianut Syaikh Siti Jennar dengan sufi dari Iran yaitu Al – Hallaj.

c.       Penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab untuk tanda- tanda bunyi Harakat.

d.      Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik.

e.       Adanya perkampungan Leren/Leran di Giri daerah Gresik. Leren adalah nama salah satu Pendukung teori ini yaitu Umar Amir Husen dan P.A. Hussein Jayadiningrat.

  Djajaningrat juga dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang mempertahankan disertasi di Universitas Leiden, Belanda, pada 1913. Disertasinya tersebut berjudul Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten (Pandangan Kritis mengenai Sejarah Banten).

 

d.      Teori China

Teori Cina mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia (khususnya di Jawa) berasal dari para perantau Cina. Menurut teori ini, orang Cina telah berhubungan dengan masyarakat Indonesia jauh sebelum Islam dikenal di Indonesia. Pada masa         Hindu-Buddha, etnis Cina atau Tiongkok telah berbaur dengan penduduk Indonesia terutama melalui kontak dagang. Bahkan, ajaran Islam telah sampai di Cina pada abad ke-7 M, masa di mana agama ini baru berkembang. Sumanto Al Qurtuby dalam bukunya Arus Cina-Islam-Jawa menyatakan, menurut kronik (sumber luar negeri) pada masa Dinasti Tang (618-960) di daerah Kanton, Zhang-zhao, Quanzhou, dam pesisir Cina bagian selatan, telah terdapat sejumlah pemukiman Islam.

 

Teori Cina didasarkan pada  sumber luar negeri (kronik) maupun                lokal (babad dan hikayat). Bahkan menurut sejumlah sumber lokat tersebut ditulis bahwa raja Islam pertama di Jawa, yakni Raden Patah dari Bintoro Demak, merupakan keturunan Cina. Ibunya disebutkan   berasal dari Campa, Cina bagian selatan (sekarang termasuk Vietnam). Berdasarkan Sajarah Banten dan Hikayat Hasanuddin, nama dan gelar raja-raja Demak beserta leluhurnya ditulis dengan menggunakan istilah Cina, seperti “Cek Ko Po”, “Jin Bun”, “Cek Ban Cun”, “Cun Ceh”, serta “Cu-cu”. Nama-nama seperti “Munggul” dan “Moechoel” ditafsirkan merupakan kata lain dari Mongol, sebuah wilayah di utara Cina yang berbatasan dengan Rusia. Bukti-bukti lainnya adalah masjid-masjid tua yang bernilai arsitektur                 Tiongkok yang didirikan oleh komunitas Cina di berbagai tempat, terutama di Pulau Jawa.

 

Pelabuhan penting sepanjang pada abad ke-15 seperti Gresik, misalnya, menurut catatan-catatan Cina, diduduki pertama-tama oleh para pelaut dan pedagang Cina. Diperkuat pula oleh pendapat dari KH.Abdurrahman Wahid yang        menyatakan bahwa Terdapat tiga gelombang kedatangan Islam di Nusantara. Gelombang pertama berasal dari perwira-perwira atau tokoh-tokoh Islam di Cina. Gelombang kedua berasal dari Bangladesh yang membawa pengaruh Mazhab Syafi’i. Gelombang ketiga berasal dari para pedagang Gujarat.

 

Daerah yang mula-mula menerima Agama Islam adalah Pantai Barat pulau Sumatera. Dari tempat itu, Islam kemudian menyebar ke seluruh Indonesia. Beberapa tempat penyebarannya adalah :

a.     Pesisir Sumatera bagian Utara di Aceh

b.    Pariaman di Sumatera Barat

c.     Gresik dan Tuban di Jawa Timur

d.    Demak di Jawa Tengah

e.     Banten di Jawa Barat

f.     Palembang di Sumatera Selatan

g.    Banjar di Kalimantan Selatan

h.     Makassar di Sulawesi Selatan

i.      Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo di Maluku

j.      Sorong di Irian Jaya

 

Strategi Dakwah dan Perkembangan Islam di Indonesia

a.    Perdagangan

   Berdasarkan data sejarah bahwa perdagangan merupakan media dakwah yang paling banyak dilakukan oleh para penyebar agama Islam di Indonesia. Hal ini dapat kita lihat dari adanya kesibukan lalu lintas perdagangan pada abad ke 7 M hingga ke 16 M. Jalur ini dimungkinkan karena orang-orang melayu telah lama menjalin kontak dagang dengan orang Arab. Apalagi setelah berdirinya kerajaan Islam seperti kerajaan Islam Malaka dan kerajaan Samudra Pasai di Aceh, maka makin ramailah para ulama dan pedagang Arab datang ke Nusantara (Indonesia). Disamping mencari berdagang mereka juga mencari menyiarkan agama Islam. Fakta sejarah ini dapat diketahui berdasarkan data dan informasi yang dicatat oleh Tome’Pires bahwa seorang musafir Portugis menceritakan tentang penyebaran Islam antara tahun 1512 sampai tahun 1515 Masehi, yang meliputi Sumatera, Kalimantan, Jawa hingga kepulauan Maluku. Ia juga menyatakan bahwa pedagang muslim banyak yang bermukim di pesisir Pulau Jawa yang ketika itu masih penganut Hindu dan Budha maupun animisme dan dinamisme. Para penyebar agama Islam berhasil mendirikan masjid-masjid dan mendatangkan para ahli agama dari luar sehingga jumlah mereka semakin bertambah banyak.

 

b.    Perkawinan

Proses penyebaran Islam di Indonesia juga banyak dilakukan melalui pernikahan antara para pedagang muslim dengan wanita Indonesia. Jalur perdagangan internasional yang dikuasai oleh para pedagang muslim menjadikan para pedagang Islam memiliki kelebiahn secara ekonomi. Para pedagang muslim yang tertarik dengan wanita-wanita Indonesia yang ingin menikah mensyaratkan agar para wanita tersebut haruslah memeluk Islam sebagai prasayarat dalam sebuah pernikahan. Karena di dalam Islam tidak diperbolehkan pernikahan dengan perbedaan agama. Dan para penduduk lokal tidak keberatan dengan prasayarat tersebut. Dari pernikahan ini bukan hanya menjadikan penganut agama Islam semakin banyak, namun juga semakin mengukuhkan generasi-generasi Islam di Indonesia buah dari pernikahan mereka. Apalagi jika yang terjadi adalah pernikahan antara keluarga bangsawan dengan keluarga parasaudagar muslim. Tentu akan semakin menguatkan posisi tawar mereka di masyarakat. Dari pernikahan ini kemdian terbentuklah komunitas-komunitas muslim di Indonesia. Sebagai contoh yang dapat dikemukakan adalah pernikahan antara Raden Rahmat atau Sunan Ampel dengan Nyai Manila dan antara Sunan Gunung Jati dengan Puri Kawunganten, Raja Brawijaya dengan Putri Campa dan lain-lain.

 

c.    Pendidikan

Proses masuknya Islam juga dilakukan melalui proses pendidikan. Para ulama banyak yang mendirikan lembaga pendidikan Islam. Di lembaga pendidikan inilah para ulama semakin menguatkan posisi agama Islam dengan pengajaran-pengajaran ajaran agama Islam. Salah satu lembaga pendidikan Islam yang menjadi ciri awal penyebaran Islam adalah pesantren. Istilah pesantren untuk menunjukkan sebuah lembaga pendidikan banyak digunakan oleh ulama jawa dan madura sementara di Aceh dikenal dengan “dayah” dan di Minangkabau dikenal dengan nama “Surau”. Awalnya pesantren atau dayah atau surau adalah bentuk kegiatan keagamaan yang kemudian berubah menjadi suatu lembaga kegiatan kependidikan. Bahkan dalam catatan Howard M. Federspiel-salah seorang pengkaji keIslaman di Indonesia, menjelang abad ke-12 pusat-pusat pendidikan di Aceh, Palembang (Sumatera), Jawa Timur dan di Gowa (Sulawesi) pesantren atau dayah telah menghasilkan tulisan-tulisan penting dan menarik santri untuk belajar. Dalam literatur sejarah, pesantren banyak diasosiasikan mendapat pengaruh dari kegiatan pendidikan Hindu dan Budha. Kata “santri” juga menunjukkan seseorang yang sedang menuntut ilmu agama Budha secara mendalam di kuil-kuil Budha untuk kemudian dijadikan calon-calon pemuka agama atau bhiksu. Kata santri Pertama, berasal dari bahasa sansekerta, yaitu "sastri", yang berarti orang yang melek huruf. Kedua, berasal dari bahasa jawa, yaitu "cantrik", yang berarti seseorang yang mengikuti pemuka agama (bhiksu) di mana pun ia pergi dan menetap untuk menguasai suatu keahlian tersendiri.

Di antara lembaga pendidikan pesantren yang tumbuh pada masa awal Islam adalah Pesantren yang didirikan oleh Raden Rahmat di Ampel Denta. Pesantren Giri yang didirikan oleh Sunan Giri yang popularitasnya melampaui batas pulau Jawa hingga ke Maluku. Bahkan menurut catatan sejarah Sunan Giri dan para ulama lainnya pernah diundang ke Maluku untuk memberikan pelajaran agama Islam. Banyak dari mereka yang menjadi guru, khatib (pengkhutbah), hakim (qadli) bahkan muadzin di Maluku dengan imbalan berupa cengkeh.Dengan cara-cara pendidikan tersebut agama Islam terus meluas ke seluruh penjuru nusantara.

 

d.   Tasawuf

Para penganut tasawuf atau sufi umumnya adalah pengembara. Mereka dengan sukarela mengajar penduduk lokal berbagai hal. Mereka sangat memahami para penduduk lokal dari berbagai sisi. Para sufi memiliki sifat dan berbudi pekerti yang baik sehingga memudahkan mereka bergaul dan memahami masayarakat setempat. Mereka memahami kemiskinan dan keterbelakangan sekaligus juga memahami kesehatan spiritual masyarakat. Mereka juga memahami hal magis yang menjadi satu bidang yang digandrungi masyarakat yang menganut paham animisme dan dinamisme kala itu, hal menjadikan para sufi ini mampu melihat celah yang dapat dimasuki ajaran-ajaran Islam. Dengan tasawuf bentuk ajaran Islam yang disampaikan kepada penduduk pribumi mempunyai persamaan dengan alam pikiran mereka. Di antara para sufu yang memberikan ajaran Islam kepada masyarakat adalah Hamzah Fansury dari Aceh, Syekh Lemah Abang, dan Sunan Panggung dari Jawa. Bahkan pengikutnya masih banyak hingga kini.

 

e.    Kesenian dan Budaya

Para tokoh Muslim ini mengajarkan agama Islam menurut bahasa dan adat istiadat setempat. Mereka inilah yang memiliki peran besar dalam menyebarkan dan mengembangkan Islam di Indonesia. Sebagian besar nama-nama mereka telah melegenda, seperti WaliSanga. Penyebaran Islam melalui kesenian atau budaya sepertinya yang paling banyak mempengaruhi masyarakat. Penyebaran Islam melalui kesenian berupa wayang, sastra, dan berbagai kesenian lainnya. Pendekatan jalur kesenian dilakukan oleh para penyebar Islam seperti WaliSanga untuk menarik perhatian di kalangan mereka, sehingga dengan tanpa terasa mereka telah tertarik kepada ajaran-ajaran Islam sekalipun pada awalnya mereka tertarik karena media kesenian itu. Misalnya, Sunan Kalijaga adalah tokoh seniman wayang. Ia tidak pernah meminta bayaran pertunjukkan seni, tetapi ia meminta para penonton untuk mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian cerita wayang masih dipetik dari cerita Mahabarata dan Ramayana, tetapi di dalam cerita itu disisipkan ajaran dan nama-nama pahlawan Islam. Kesenian-kesenian lain juga dijadikan media islamisasi, seperti sastra (hikayat, babad, dan sebagainya), seni arsitektur seperi terlihat pada masjid-masjid peninggalan para ulama wali Sanga, dan seni ukir yang terdapat pada kediaman atau pada masjid-masjid peninggalan para wali.

 latihan harian   

Latihan 2 SKI 12


Tokoh-Tokoh Dalam Perkembangan Islam Di Indonesia

 

Proses penyebaran Islam di wilayah Nusantara tidak dapat dilepas dari peran aktif para ulama. Melalui merekalah Islam dapat diterima dengan baik dikalangan masyarakat. Di antara Ulama tersebut adalah sebagai berikut:

a.     Hamzah Fansuri

Ia hidup pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda sekitar tahun 1590. Pengembaraan intelektualnya tidak hanya di Fansur-Aceh, tetapi juga ke India, Persia, Mekkah dan Madinah. Dalam pengembaraan itu ia sempat mempelajari ilmu fiqh, tauhid, tasawuf, dan sastra Arab.

b.    Syaikh Muhammad Yusuf Al-Makasari

     Beliau lahir di Moncong Loe, Gowa, Sulawesi Selatan pada tanggal 3 Juli         1626 M/1037 H. Ia memperoleh pengetahuan Islam dari banyak guru, di             antaranya yaitu; Sayid Ba Alwi bin Abdullah Al-‘allaham (orang Arab        yang menetap di Bontoala),             Syaikh Nuruddin Ar-Raniri (Aceh), Muhammad          bin Wajih As-Sa’di Al-Yamani (Yaman), Ayub bin Ahmad bin Ayub Ad-        Dimisqi Al-Khalwati (Damaskus), dan lain sebagainya.

c.     Syaikh Abdussamad Al-Palimbani

Ia merupakan salah seorang ulama terkenal yang berasal dari Sumatra Selatan. Ayahnya adalah seorang Sayid dari San’a, Yaman. Ia dikirim ayahnya ke Timur Tengah untuk belajar. Di antara ulama sezaman yang sempat bertemu dengan beliau adalah; Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Abdul Wahab Bugis, Abdurrahman Bugis Al-Batawi dan Daud Al-Tatani.

d.    Syaikh Muhammad bin Umar n-Nawawi Al-Bantani

            Beliau lahir di Tanar, Serang, Banten. Sejak kecil ia dan kedua saudaranya,    Tamim dan Ahmad, di didik oleh ayahnya dalam bidang agama; ilmu nahwu,   fiqh dan tafsir. Selain itu ia juga belajar dari Haji Sabal, ulama terkenal saat           itu, dan dari Raden Haji Yusuf di Purwakarta Jawa Barat. Kemudian ia         pergi ke Mekkah untuk menunaikan          ibadah haji dan menetap disana kurang            lebih tiga tahun. Di Mekkah ia belajar Sayid          Ahmad bi Sayid Abdurrahman An-Nawawi, Sayid Ahmad Dimyati dan Sayid Ahmad Zaini Dahlan.             Sedangkan di Madinah ia berguru kepada Syaikh Muhammad Khatib Sambas Al-Hambali. Selain itu ia juga mempunyai guru utama dari Mesir.   Pada tahun 1833 beliau kembali ke Banten. Dengan bekal pengetahuan agamanya ia             banyak terlibat proses belajar mengajar dengan para pemuda di wilayahnya yang            tertarik denga kepandaiannya.. tetapi ternyata beliau tidak betah tinggal di kampung         halamannya. Karena itu pada tahun 1855 ia berangkat ke Haramain dan menetap                 disana hingga beliau wafat pada tahun 1897 M/1314 H.

 


Ulangan harian SKI



Ulangan harian 3











Soal Tryout UAMNUBK MA

 soal aqidah  Soal Try out Aqidah Akhlak UAMNUBK MA