PERANAN KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA
KERAJAAN PERLAK
Sejarah Berdirinya Kesultanan Perlak
Nama Perlak diambil dari nama Kayu Perlak. Kayu jenis ini merupakan kayu khas
daerah Perlak. Atas dasar ini lah kemudian daerah penghasil kayu Perlak disebut
dengan Negeri Perlak. Setelah perdagangan semakin ramai di Selat Malaka, maka
para pedagang pun menyebut Negeri Perlak sebagai Bandar Perlak.
Kitab Negarakertagama menyebut negeri itu dengan nama
Parlak. Sementara Marcopolo yang berkunjung ke negeri itu pada tahun 1292
mencatatnya dengan nama Negeri Ferlec. Sebelum
berdirinya Kesultanan Perlak, di wilayah Perlak telah berdiri sebuah kerajaan
bercorak Hindu-Buddha yang sederhana bernama Kerajaan Perlak. Raja yang
berkuasa di kerajaan ini bergelar Meurah yang berarti maharaja.
Perlak semakin berkembang ketika dipimpin oleh Pangeran Salman, seorang
pangeran yang memiliki darah Kisra Persia. Putri dari Pangeran Salman kemudian
menikah dengan Muhammad Ja’far Shiddiq, seorang pendakwah dari negeri Arab,
yang nantinya akan menurunkan pendiri Kesultanan Islam pertama di Nusantara.
Berdasarkan naskah Idhar al-Haq,
sekitar tahun 790 M, sebuah kapal layar berlabuh di Bandar Perlak. Kapal
tersebut membawa seratus juru dakwah yang dipimpin oleh nakhoda dari
kekhalifahan Abbasiyah. Kapal itu datang dari Teluk Kambay, Gujarat dan
berlabuh di Bandar Perlak.
Salah seorang pendakwah itu
bernama Ali ibn Muhammad Ja’far Shiddiq. Ia adalah seorang muslim Syiah yang
melakukan pemberontakan kepada khalifah al-Makmun. Namun, usahanya itu menemui
kegagalan, alhasil ia diperintahkan untuk berdakwah keluar dari negeri Arab
sebagai hukumannya.
Setelah beberapa waktu berdakwah di Bandar Perlak, Ali ibn Muhammad Ja’far
Shiddiq menikah dengan putri istana Perlak. Putra pertama hasil dari pernikahan
itu bernama Syed Maulana Abdul Azz Syah. Ia mendirikan Kesultanan Perlak pada
tahun 840 M, sebagai Kesultanan Islam (Syiah) pertama di Nusantara. Setelah
berhasil mendirikan Kesultanan Perlak, ia memperoleh gelar Sultan Alaiddin Syed
Maulana Abdul Azis Syah.
Pergolakan Syiah dan Sunni di Kerajaan Perlak
Sultan pertama Perlak adalah Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Aziz Shah, yang
beraliran Syiah dan merupakan keturunan Arab dengan perempuan setempat, yang
mendirikan Kesultanan Perlak pada 1 Muharram 225 H (840 M). Ia mengubah nama
ibukota kerajaan dari Bandar Perlak menjadi Bandar Khalifah. Sultan ini bersama
istrinya, Putri Meurah Mahdum Khudawi, kemudian dimakamkan di Paya Meuligo,
Peureulak, Aceh Timur.
Pada masa pemerintahan sultan ketiga, Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah,
aliran Sunni mulai masuk ke Perlak. Setelah wafatnya sultan pada tahun 363 H
(913 M), terjadi perang saudara antara kaum Syiah dan Sunni sehingga selama dua
tahun berikutnya tak ada sultan.
Kaum Syiah memenangkan perang dan pada tahun 302 H (915 M), Sultan Alaiddin
Syed Maulana Ali Mughat Shah dari aliran Syiah naik tahta. Pada akhir
pemerintahannya terjadi lagi pergolakan antara kaum Syiah dan Sunni yang kali
ini dimenangkan oleh kaum Sunni sehingga sultan-sultan berikutnya diambil dari
golongan Sunni.
Pada tahun 362 H (956 M), setelah meninggalnya sultan ketujuh, Sultan Makhdum
Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat, terjadi lagi pergolakan selama
kurang lebih empat tahun antara Syiah dan Sunni yang diakhiri dengan perdamaian
dan pembagian kerajaan menjadi dua bagian. Yaitu, Perlak Pesisir (Syiah)
dipimpin oleh Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah (986-988). Perlak Pedalaman
(Sunni) dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan
Berdaulat (986-1023).
Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah meninggal ketika Kerajaan Sriwijaya menyerang
Perlak dan seluruh Perlak bersatu di bawah pimpinan Sultan Makhdum Alaiddin
Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat yang melanjutkan perjuangan melawan
Sriwijaya hingga tahun 1006.
Sultan ke-17 Perlak, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat
(memerintah 1230-1267) menjalankan politik persahabatan dengan menikahkan dua
putrinya dengan penguasa negeri tetangga Peureulak.
Putri Ratna Kamala dikawinkan dengan Raja Kerajaan Malaka, Sultan Muhammad Shah
(Parameswara). Putri Ganggang dikawinkan dengan Raja Kerajaan Samudera Pasai,
Al Malik Al-Saleh.
Sultan terakhir Perlak adalah sultan ke-18, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul
Aziz Johan Berdaulat (memerintah 1267-1292). Setelah ia wafat, Perlak disatukan
dengan Kerajaan Samudera Pasai di bawah pemerintahan Sultan Samudera Pasai,
Sultan Muhammad Malik Al Zahir, putra Al Malik Al-Saleh. Penggabungan yang
dilakukan Sultan Samudera Pasai itu menandai berakhirnya kesultanan pertama di
Nusantara.
Daftar Sultan yang Pernah Berkuasa di Kesultanan Pelak:
1. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Azis Shah (840-864)
2. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Rahim Shah (864-888)
3. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah (888-913)
4. Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah (915-918)
5. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Shah Johan Berdaulat (928-932)
6. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah Johan Berdaulat (932-956)
7. Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat (956-983)
8. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986-1023)
9. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Shah Johan Berdaulat (1023-1059)
10Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mansur Shah Johan Berdaulat (1059-1078)
11. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdullah Shah Johan Berdaulat (1078-1109)
12. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ahmad Shah Johan Berdaulat (1109-1135)
13. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Shah Johan Berdaulat (1135-1160)
14. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Usman Shah Johan Berdaulat (1160-1173)
15. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Shah Johan Berdaulat (1173-1200)
16. Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Jalil Shah Johan Berdaulat (1200-1230)
17. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat
(1230-1267
18. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat (1267-1292)
Sultan-sultan di atas dibagi dua dinasti. Yaitu Dinasti Syed Maulana Abdul Azis
Shah dan Dinasti Johan Berdaulat, yang merupakan keturunan dari Meurah Perlak
asli (Syahir Nuwi).
Masa Kejayaan Kerajaan Perlak
Masa kejayaan kerajaan ini berhasil
didapatkan pada masa pemerintahan Muhammad Amin Syah Johan Berdaulat II.
Kerajaan ini mampu berkembang terutama di bidang pendidikan Islam dan dakwah
Islamiah.
Pada masa ini juga, raja
mengawinkan dua
putrinya dengan pangeran dari Kerajaan Samudera Pasai,
yakni Putri Ganggang Sari dan Putri Ratna Kumala sehingga mendorong
kesejahteraan kesultanan ini.
Selain itu, Kesultanan Perlak sangat tenar di kalangan
para pedagang Arab dan non-Arab terutama Bandar Khalifah. Menurut Ali Hajsmy
dalam bukunya Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Bandar
Khalifah telah menjadi pelabuhan penting dan tempat persinggahan mereka dalam
perjalanan ke Cina atau balik ke Asia Barat.
|
Peninggalan
Kerajaan Perlak
Ada berbagai peninggalan Kerajaan Perlak, mulai dari mata
uang, stempel, hingga makam raja. Mata uang kerajaan ini terdiri dari tiga
jenis, yakni emas (dirha), perak (kupang, dan tembaga
atau kuningan.
Mata uang itu menjadi yang tertua di Tanah Air. Uniknya,
pada salah satu sisinya terdapat tulisan 'A'la' dan sisi lainnya tertulis
'Sulthan' yang tertuju pada Perdana Menteri masa Sultan Makhdum Alaidin Ahmad
Syah Jouhan Berdaulat.
Kemudian, peninggalan stempel kerajaan ini menggunakan
bahasa Arab yang membentuk kalimat 'Al Wasiq Billah Kerajaan Negeri Bendahara
Sanah 512' yang merupakan bagian dari Kerajaan Perlak.
Peninggalan raja terakhir adalah makam raja Benoa (Benoa
adalah negara bagian dari Kerajaan Perlak) yang terletak di tepi sungai
Trenggulon. Pada makam tersebut nisan dituliskan dengan bahasa Arab dan dibuat
sekitar abad ke-4 H.
Runtuhnya
Kerajaan Perlak
Kerjaan Perlak runtuh karena mengalami kemunduran.
Diketahui, anggota keluarga kerajaan saling berebut kekuasaan pemerintahan
sehingga membuat ketidakstabilan.
Para pedagang yang melihat hal itu akhirnya memutuskan
untuk pergi ke tempat lain, yakni Pasai. Akhirnya kerajaan runtuh dan berganti
menjadi Kerajaan Samudera Pasai.
Tugas SKI XII
1. Baca Materi Kerajaan Perlak
2. kirim WA ke saya sebagai kehadiran kalian
Teori masuknya Islam Ke Indonesia
SEJARAH MASUKNYA ISLAM DI INDONESIA
Jalur Masuknya Islam di Indonesia
a. Teori Gujarat
Teori ini
dipopulerkan oleh seorang orientalis yang meneliti tentang Islam Indonesia dia
adalah Snouck Hurgronje. Ia menyatakan bahwa agama Islam baru masuk ke
Nusantara pada abad ke-13 Masehi yang dibawa oleh para pedagang dari Kambay,
Gujarat, India. Memang sebagian besar sejarawan asal Belanda, memegang teori
bahwa Islam di Indonesia berasal dari Anak Benua India.
Salah seorang
ilmuwan barat tersebut adalah Pijnappel yang mengemukakan teori ini, dia
mengkaitkan asal mula Islam di Indonesia dengan daerah Gujarat dan Malabar.
Menurutnya, orang-orang Arab bermadzhab Syafi’i yang bermigrasi dan menetap di
wilayah India yang kemudian membawa Islam ke Nusantara. Kemudian Snouck
Hurgronje mengembangkan teori ini, dia berpendapat bahwa ketika Islam tiba di
beberapa kota pelabuhan Anak Benua India, banyak di antara mereka beragama
Islam yang tinggal di sana sebagai pedagang perantara dalam perdagangan Timur
Tengah dengan Nusantara. Kemudian mereka datang ke dunia Melayu (Indonesia)
sebagai para penyebar Islam pertama, setelah itu baru mereka disusul oleh
orang-orang Arab. Dia mengatakan bahwa abad ke-12 sebagai periode paling
mungkin dari permulaan penyebaran Islam di Nusantara. Jan Pijnappel adalah seorang orientalis dari
Universitas Leiden Belanda yang fokus pada manuskrip melayu. Diantaranya ia
pernah menulis ulang Kisah Pelayaran Abdullah ke Kelantan untuk Pelajar Melayu.
Dia juga mengedit naskah Maleisch-hollandsch woordenboek atau Kamus
Belanda-Melayu yang kemudian diterbitkan pada tahun 1875. Sarjana Belanda ini
juga menulis kajian tentang Pantun Melayu yang diterbitkan tahun 1883 dengan
judul Over de Maleische Pantoens. Selain menerbitkan karya sendiri, Pijnappel
juga menerbitkan karya penelitian tentang Kalimantan yang ditulis oleh Carl
A.L.M. Schwaner, yang pernah ditunjuk Kerajaan Leiden mejadi Anggota Dewan
Sains di Hindia-Belanda. Orientalis yang wafat tahun 1901 itu menyatakan bahwa
Islam masuk ke Nusantara lewat pedagang dari Gujarat. Penjelasan ini didasarkan
pada seringnya kedua wilayah India dan Nusantara ini disebut dalam sejarah
Nusantara klasik. Dalam penjelasan lebih lanjut, Pijnapel menyampaikan logika
terbalik, yaitu bahwa meskipun Islam di Nusantara dianggap sebagai hasil
kegiatan orang-orang Arab, tetapi hal ini tidak langsung datang dari Arab,
melainkan dari India, terutama dari pesisir barat, dari Gujarat dan Malabar.
Jika logika ini dibalik, maka dapat dinyatakan bahwa meskipun Islam di
Nusantara berasal dari India, sesungguhnya ia dibawa oleh orang-orang Arab
juga.
Selain Snouck
Hurgronje dan Pijnappel masih ada beberapa sejarawan Belanda yang sepakat bahwa
Islam di Nusantara datang dari Gujarat dengan alasan bahwa batu nisan makam
Raja Malik al-Saleh yang merupakan raja kerajaan Samudera Pasai, Aceh, batu
nisan ini bertuliskan angka tahun 686H/1297M menggunakan nisan yang berasal
dari Gujarat, India. Selain itu batu nisan yang terdapat di makam Maulana Malik
Ibrahim di Gresik, Jawa Timur juga menunjukkan hal yang sama. Kedua batu nisan
tersebut memiliki persamaan bentuknya dengan batu nisan yang terdapat di
Cambay, Gujarat, India yang sering digunakan oleh pemeluk agama Hindu Gujarat
untuk membangun kuil-kuil mereka. Dengan beberapa alasan tersebut mereka
meyimpulkan bahwa Islam di Nusantara berasal dari India.
Namun teori
Gujarat ini banyak mendapat kritikan. Menurut Azyumardi Azra ada beberapa
kelemahan-kelemahan dari teori yang dikemukaan diatas, teori India yang
dikembangkan oleh sarjana-sarjana Belanda ini memiliki kelemahan antara lain;
terlihat bahwa pada masa itu India diperintah oleh seorang yang beragama Hindu,
sehingga kecil kemungkinan adanya hubungan antara Islam yang berkembang di
Indonesia dengan Islam di India pada saat itu yang menjadi minoritas. Selain
itu kelemahan teori ini terlihat dari pemahaman keagamaan atau mazhab yang
dianut oleh masyarakat India dan Indonesia. Muslim India yang pada waktu itu
masih berjumlah sedikit, sebagian besar penganutnya bermadzhab Hanafi yang
Syi’ah sementara Islam yang berkembang di Indonesia bermazhab Syafi’i yang Sunni.
Selain itu, meskipun batu nisan Raja Samudera Pasai al-Malik al-Shaleh
menggunakan batu dari Cambay, Gujarat India, penggunaan gelar “Al-Malik”
merupakan gelar yang berasal dari Arab-Mesir. Sanggahan lain adalah bukti telah
munculnya Islam pada masa awal dengan bukti tarikh Nisan Fatimah binti Maimun (1082M) di Gresik, Jawa Timur.
Fatimah binti Maimun bin Hibatullah adalah seorang perempuan beragama Islam yang wafat
pada hari Jumat, 7 Rajab 475 Hijriyah (2 Desember 1082 M). Batu nisannya
ditulis dalam bahasa Arab dengan huruf kaligrafi bergaya Kufi,
serta merupakan nisan kubur Islam tertua yang ditemukan di Nusantara. Makam
tersebut berlokasi di desa Leran, Kecamatan
Manyar, sekitar 5 km arah utara kota Gresik, Jawa Timur. Batu nisan
tersebut memiliki perbedaan dengan batu nisan yang berada di Pasai maupun di
makan Maulana Malik Ibrahim. Dalam keterangan di batu nisan yang terdapat di
Pasai dan makam Maulana Malik Ibrahim pun memiliki keterangan waktu abad ke 13
M, sementara makam Fatimah binti Maimun sudah sangat jelas menunjukkan waktu
abad ke-10 M. Artinya Islam telah masuk ke bumi Indonesia sebelum abad ke-10 M.
Keterangan yang bisa kita gali dari makam Fatimah binti maimun juga menunjukkan
bahwa beliau bukanlah dari India melainkan dari tanah Arab. Informasi inilah
yang kemudian menguatkan teori berikutnya yaitu teori Arab.
b. Teori Arab
Teori Arab dalam sejarah masuknya Islam ke
Indonesia mengatakan bahwa Islam datang ke Indonesia secara langsung dari Arab
tidak melalui perantara bangsa lain dahulu. Beberapa bukti sejarah dikemukakan
untuk menguatkan teori ini. Teori ini mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia
langsung dari Mekkah (Arab) sebagai pusat agama Islam sejak abad ke-7.
Salah satu sejarawan yang mendukung teori ini
ialah Prof. Hamka. Dia menyatakan bahwa Islam sudah datang ke Indonesia pada
abad pertama Hijriah (abad ke 7-8 M) langsung
dari Arab dengan bukti jalur perdagangan yang ramai dan bersifat internasional
sudah dimulai melalui selat Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang di Cina (Asia
timur), Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani Umayyah di Asia Barat. Menurutnya,
motivasi awal kedatangan orang Arab tidak dilandasi oleh nilai-nilai ekonomi,
melainkan didorong oleh motivasi spirit penyebaran agama Islam. Dalam pandangan
Hamka, jalur perdagangan antara Indonesia dengan Arab telah berlangsung jauh
sebelum tarikh masehi.
Hamka
berpendapat bahwa pada tahun 625 M sebuah naskah Tiongkok yang dicatat
oleh Pendeta Budha I-Tsing yang melakukan perjalanan dari Canton menuju India.
Perjalanan teresbut menggunakan kapal Posse dan pada tahun 674M ia
singgah di Bhoga (yang sekarang dikenal dengan Palembang, Sumatera Selatan) di
Bhoga ia menemukan kelompok bangsa Arab yang telah bermukim di pantai Barat Sumatera (Barus) tersebut. Sebagian orang-orang Arab ini diceritakan
melakukan perkawinan dengan wanita lokal. Komunitas Arab ini disebutnya sebagai
komunitas Ta-Shih dan Posse. Mereka adalah para pedagang yang
telah lama menjalin hubungan perdagangan dengan kerajaan Sriwijaya. Karena demi
hubungan perdagangan itulah kemudian kerajaan Sriwijaya memberikan daerah
khusus untuk mereka. Menurut T.W. Arnold, disamping melakukan perdagangan,
anggota komunitas Muslim ini juga melakukan kegiatan-kegiatan penyebaran dakwah
Islam.
Selain Hamka, Thomas W Arnold juga
berpandangan bahwa, para pedagang Arab telah menyebarkan Islam ketika mereka
menjadi pemain dominan dalam perdagangan Barat-Timur sejak abad-abad awal
Hijriah atau abad ke-7 dan ke-8 Masehi. Meskipun tidak terdapat catatan-catatan
sejarah tentang kegiatan mereka dalam penyebaran Islam, namun ia berasumsi bahwa
mereka juga terlibat dalam penyebaran Islam kepada penduduk lokal di Indonesia.
Selain kedua tokoh tersebut, beberapa tokoh
sejarawan juga mendukung teori ini, antara lain Uka Tjandrasasmita, A. Hasymi,
Azyumardi Azra dan lain-lain.
Selain informasi tersebut, Azyumardi Azra
menambahkan, bahwa ditemukannya
adaptasi-adaptasi lain yang dilakukan oleh bangsa Indonesia atas
pengaruh bangsa Arab ini. Misalnya saja dari segi bahasa dan tradisi, misalnya
pada kata dan tradisi bersila yang sering dilakukan oleh bangsa
Indoensia adalah tradisi yang dilakukan oleh tradisi bangsa Arab atau Persia
yang egaliter.
Sedangkan, Sayyed Naquib Al Attas dalam
bukunya “Islam dan Sejarah Kebudayaan Melayu” menyatakan bahwa sebelum abad
XVII seluruh literatur Islam yang relevan tidak mencatat satupun penulis dari
India. Pengarang-pengarang yang dianggap oleh Barat sebagai India ternyata
berasal dari Arab atau Persia, bahkan apa yang disebut berasal dari Persia
ternyata berasal dari Arab, baik dari aspek etnis maupun budaya. Nama-nama dan
gelar pembawa Islam pertama ke Nusantara menunjukkan bahwa mereka orang Arab
atau Arab-Persia. Diakui, bahwa setengah mereka datang melalui India, tetapi
setengahnya langsung datang dari Arab, Persia, Cina, Asia Kecil, dan Magrib
(Maroko). Meski demikian, yang penting bahwa faham keagamaan mereka adalah
faham yang berkembang di Timur Tengah kala itu, bukan India. Sebagai contoh
adalah corak huruf, nama gelaran, hari-hari mingguan, cara pelafalan Al-Quran
yang keseluruhannya menyatakan ciri tegas Arab.
Disamping pendapat di atas, makam Fatimah
Binti Maimun di Leran Jawa Timur semakin menguatkan teori ini. Fatimah binti
Maimun bin Hibatullah adalah seorang perempuan beragama Islam yang wafat
pada hari Jumat, 7 Rajab 475 Hijriyah (2 Desember 1082 M). Inskripsi nisan terdiri dari tujuh baris,
berikut ini adalah bacaan Jean Piere Moquette yang
diterjemahkan oleh Muh. Yamin, sebagai
berikut;
·
Atas nama Tuhan Allah Yang Maha Penyayang dan Maha Pemurah
·
Tiap-tiap makhluk yang hidup di atas bumi itu adalah bersifat fana
·
Tetapi wajah Tuhan-mu yang bersemarak dan gemilang itu tetap kekal
adanya
·
Inilah kuburan wanita yang menjadi kurban syahid bernama Fatimah binti
Maimun
·
Putera Hibatu'llah yang berpulang pada hari Jumiyad ketika tujuh
·
Sudah berlewat bulan Rajab dan pada tahun 495
·
Yang menjadi kemurahan Tuhan Allah Yang Maha Tinggi
·
Bersama pula Rasulnya Mulia
Baris 1
merupakan basmalah sedangkan
baris 2-3 merupakan kutipan Surah Ar- Rahman ayat 25-26,
yang umum dalam epitaf umat Muslim, terutama
di Mesir.
Selain argumen
di atas, Azyumardi berpendapat tentang
masuknya Islam ke Nusantara. Menurut Azyumardi bahwa Islam datang di Nusantara
pada abad ke-7 M, namun baru dianut oleh para pedagang-pedagang Arab yang
berdagang di Nusantara saja dan baru mulai tersebar dan dianut oleh masyarakat
Nusantara pada abad ke-12, yang disebarkan oleh para sufi pengembara yang
berasal dari Arab. Alasan ini dikuatkan oleh corak Islam awal yang di anut oleh
masyarakat Nusantara ialah Islam sufistik, karena pada masa al-Gazali (Dinasti
Abbasiyah) muncul sufi-sufi pengembara yang bertujuan untuk menyebarkan Islam
tanpa pamrih, maka sufi-sufi inilah yang disinyalir datang dan menyebarkan
Islam di Nusantara.
c. Teori Persia
Pembangun teori Persia ini
adalah Hoesein Djajaningrat. Teori Persia lebih menitikberatkan tinjauannya
kepada kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat Islam Indonesia yang
dirasakan mempunyai persamaan dengan Persia di antaranya,
a. Peringatan 10 Muharram atau Asyura atas
meninggalnya Hasan dan Husein cucu Nabi Muhammad, yang sangat di junjung oleh
orang Syiah/Islam Iran. Di Sumatra Barat peringatan tersebut disebut dengan
upacara Tabuik/Tabut. Sedangkan di pulau Jawa ditandai dengan pembuatan bubur
Syuro.
b. Kesamaan ajaran Sufi yang dianut Syaikh Siti
Jennar dengan sufi dari Iran yaitu Al – Hallaj.
c. Penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem
mengeja huruf Arab untuk tanda- tanda bunyi Harakat.
d. Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim
tahun 1419 di Gresik.
e. Adanya perkampungan Leren/Leran di Giri
daerah Gresik. Leren adalah nama salah satu Pendukung teori ini yaitu Umar Amir
Husen dan P.A. Hussein Jayadiningrat.
Djajaningrat juga dikenal
sebagai orang Indonesia pertama yang mempertahankan disertasi di Universitas
Leiden, Belanda, pada 1913. Disertasinya tersebut berjudul Critische
Beschouwing van de Sadjarah Banten (Pandangan Kritis mengenai Sejarah Banten).
d. Teori China
Teori Cina
mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia (khususnya di Jawa)
berasal dari para perantau Cina. Menurut teori ini, orang Cina telah
berhubungan dengan masyarakat Indonesia jauh sebelum Islam dikenal di
Indonesia. Pada masa Hindu-Buddha,
etnis Cina atau Tiongkok telah berbaur dengan penduduk Indonesia terutama
melalui kontak dagang. Bahkan, ajaran Islam telah sampai di Cina pada abad ke-7
M, masa di mana agama ini baru berkembang. Sumanto Al Qurtuby dalam
bukunya Arus Cina-Islam-Jawa menyatakan, menurut kronik (sumber luar
negeri) pada masa Dinasti Tang (618-960) di daerah Kanton, Zhang-zhao,
Quanzhou, dam pesisir Cina bagian selatan, telah terdapat sejumlah pemukiman
Islam.
Teori Cina
didasarkan pada sumber luar negeri (kronik)
maupun lokal (babad dan
hikayat). Bahkan menurut sejumlah sumber lokat tersebut ditulis bahwa raja
Islam pertama di Jawa, yakni Raden Patah dari Bintoro Demak, merupakan
keturunan Cina. Ibunya disebutkan berasal
dari Campa, Cina bagian selatan (sekarang termasuk Vietnam). Berdasarkan
Sajarah Banten dan Hikayat Hasanuddin, nama dan gelar raja-raja Demak beserta
leluhurnya ditulis dengan menggunakan istilah Cina, seperti “Cek Ko Po”, “Jin
Bun”, “Cek Ban Cun”, “Cun Ceh”, serta “Cu-cu”. Nama-nama seperti “Munggul” dan
“Moechoel” ditafsirkan merupakan kata lain dari Mongol, sebuah wilayah di utara
Cina yang berbatasan dengan Rusia. Bukti-bukti lainnya adalah masjid-masjid tua
yang bernilai arsitektur Tiongkok
yang didirikan oleh komunitas Cina di berbagai tempat, terutama di Pulau Jawa.
Pelabuhan
penting sepanjang pada abad ke-15 seperti Gresik, misalnya, menurut
catatan-catatan Cina, diduduki pertama-tama oleh para pelaut dan pedagang Cina.
Diperkuat pula oleh pendapat dari KH.Abdurrahman Wahid yang menyatakan bahwa Terdapat tiga gelombang
kedatangan Islam di Nusantara. Gelombang pertama berasal dari perwira-perwira
atau tokoh-tokoh Islam di Cina. Gelombang kedua berasal dari Bangladesh yang
membawa pengaruh Mazhab Syafi’i. Gelombang ketiga berasal dari para pedagang
Gujarat.
Daerah yang
mula-mula menerima Agama Islam adalah Pantai Barat pulau Sumatera. Dari tempat
itu, Islam kemudian menyebar ke seluruh Indonesia. Beberapa tempat
penyebarannya adalah :
a.
Pesisir Sumatera bagian Utara di Aceh
b. Pariaman di Sumatera Barat
c. Gresik dan Tuban di Jawa Timur
d. Demak di Jawa Tengah
e. Banten di Jawa Barat
f. Palembang di Sumatera Selatan
g. Banjar di Kalimantan Selatan
h. Makassar di Sulawesi Selatan
i. Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo di Maluku
j. Sorong di Irian Jaya
Strategi Dakwah
dan Perkembangan Islam di Indonesia
a. Perdagangan
Berdasarkan data sejarah bahwa perdagangan
merupakan media dakwah
yang paling banyak dilakukan oleh para penyebar agama Islam di
Indonesia. Hal ini dapat kita lihat dari adanya kesibukan lalu lintas
perdagangan pada abad ke 7 M hingga ke 16 M. Jalur ini dimungkinkan karena
orang-orang melayu telah lama menjalin kontak dagang dengan orang Arab. Apalagi
setelah berdirinya kerajaan Islam seperti kerajaan Islam Malaka dan kerajaan
Samudra Pasai di Aceh, maka makin ramailah para ulama dan pedagang Arab datang
ke Nusantara (Indonesia). Disamping mencari berdagang mereka juga mencari
menyiarkan agama Islam. Fakta sejarah ini dapat diketahui berdasarkan data dan
informasi yang dicatat oleh Tome’Pires bahwa seorang musafir Portugis
menceritakan tentang penyebaran Islam antara tahun 1512 sampai tahun 1515
Masehi, yang meliputi Sumatera, Kalimantan, Jawa hingga kepulauan Maluku. Ia juga
menyatakan bahwa pedagang muslim banyak yang bermukim di pesisir Pulau Jawa
yang ketika itu masih penganut Hindu dan Budha maupun animisme dan dinamisme.
Para penyebar agama Islam berhasil mendirikan masjid-masjid dan mendatangkan
para ahli agama dari luar sehingga jumlah mereka semakin bertambah banyak.
b. Perkawinan
Proses
penyebaran Islam di Indonesia juga banyak dilakukan melalui pernikahan antara
para pedagang muslim dengan wanita Indonesia. Jalur perdagangan internasional
yang dikuasai oleh para pedagang muslim menjadikan para pedagang Islam memiliki
kelebiahn secara ekonomi. Para pedagang muslim yang tertarik dengan
wanita-wanita Indonesia yang ingin menikah mensyaratkan agar para wanita
tersebut haruslah memeluk Islam sebagai prasayarat dalam sebuah pernikahan.
Karena di dalam Islam tidak diperbolehkan pernikahan dengan perbedaan agama.
Dan para penduduk lokal tidak keberatan dengan prasayarat tersebut. Dari
pernikahan ini bukan hanya menjadikan penganut agama Islam semakin banyak,
namun juga semakin mengukuhkan generasi-generasi Islam di Indonesia buah dari
pernikahan mereka. Apalagi jika yang terjadi adalah pernikahan antara keluarga
bangsawan dengan keluarga parasaudagar muslim. Tentu akan semakin menguatkan
posisi tawar mereka di masyarakat. Dari pernikahan ini kemdian terbentuklah
komunitas-komunitas muslim di Indonesia. Sebagai contoh yang dapat dikemukakan
adalah pernikahan antara Raden Rahmat atau Sunan Ampel dengan Nyai Manila dan
antara Sunan Gunung Jati dengan Puri Kawunganten, Raja Brawijaya dengan Putri
Campa dan lain-lain.
c. Pendidikan
Proses
masuknya Islam juga dilakukan melalui proses pendidikan. Para ulama banyak yang
mendirikan lembaga pendidikan Islam. Di lembaga pendidikan inilah para ulama
semakin menguatkan posisi agama Islam dengan pengajaran-pengajaran ajaran agama
Islam. Salah satu lembaga pendidikan Islam yang menjadi ciri awal penyebaran
Islam adalah pesantren. Istilah pesantren untuk menunjukkan sebuah lembaga
pendidikan banyak digunakan oleh ulama jawa dan madura sementara di Aceh
dikenal dengan “dayah” dan di Minangkabau dikenal dengan nama “Surau”. Awalnya
pesantren atau dayah atau surau adalah bentuk kegiatan keagamaan yang kemudian
berubah menjadi suatu lembaga kegiatan kependidikan. Bahkan dalam
catatan Howard M. Federspiel-salah seorang
pengkaji keIslaman di Indonesia, menjelang abad ke-12 pusat-pusat pendidikan di
Aceh, Palembang (Sumatera), Jawa Timur dan di Gowa (Sulawesi)
pesantren atau dayah telah menghasilkan tulisan-tulisan penting dan menarik
santri untuk belajar. Dalam
literatur sejarah, pesantren banyak diasosiasikan mendapat pengaruh dari
kegiatan pendidikan Hindu dan Budha. Kata “santri” juga menunjukkan seseorang
yang sedang menuntut ilmu agama Budha secara mendalam di kuil-kuil Budha untuk
kemudian dijadikan calon-calon pemuka agama atau bhiksu. Kata santri Pertama, berasal dari bahasa sansekerta, yaitu "sastri", yang
berarti orang yang melek huruf. Kedua, berasal dari bahasa jawa, yaitu
"cantrik", yang berarti seseorang yang mengikuti pemuka agama
(bhiksu) di mana pun ia pergi dan menetap untuk menguasai suatu keahlian
tersendiri.
Di antara
lembaga pendidikan pesantren yang tumbuh pada masa awal Islam adalah Pesantren
yang didirikan oleh Raden Rahmat di Ampel Denta. Pesantren Giri yang didirikan
oleh Sunan Giri yang popularitasnya melampaui batas pulau Jawa hingga ke
Maluku. Bahkan menurut catatan sejarah Sunan Giri dan para ulama lainnya pernah
diundang ke Maluku untuk memberikan pelajaran agama Islam. Banyak dari mereka
yang menjadi guru, khatib (pengkhutbah), hakim (qadli) bahkan muadzin di Maluku
dengan imbalan berupa cengkeh.Dengan cara-cara pendidikan tersebut agama Islam
terus meluas ke seluruh penjuru nusantara.
d.
Tasawuf
Para penganut
tasawuf atau sufi umumnya adalah pengembara. Mereka dengan sukarela mengajar
penduduk lokal berbagai hal. Mereka sangat memahami para penduduk lokal dari
berbagai sisi. Para sufi memiliki sifat dan berbudi pekerti yang baik sehingga
memudahkan mereka bergaul dan memahami masayarakat setempat. Mereka memahami
kemiskinan dan keterbelakangan sekaligus juga memahami kesehatan spiritual
masyarakat. Mereka juga memahami hal magis yang menjadi satu bidang yang
digandrungi masyarakat yang menganut paham animisme dan dinamisme kala itu, hal
menjadikan para sufi ini mampu melihat celah yang dapat dimasuki ajaran-ajaran
Islam. Dengan tasawuf bentuk ajaran Islam yang disampaikan kepada penduduk
pribumi mempunyai persamaan dengan alam pikiran mereka. Di antara para sufu
yang memberikan ajaran Islam kepada masyarakat adalah Hamzah Fansury dari Aceh,
Syekh Lemah Abang, dan Sunan Panggung dari Jawa. Bahkan pengikutnya masih
banyak hingga kini.
e.
Kesenian dan Budaya
Para tokoh
Muslim ini mengajarkan agama Islam menurut bahasa dan adat istiadat setempat.
Mereka inilah yang memiliki peran besar dalam menyebarkan dan mengembangkan
Islam di Indonesia. Sebagian besar nama-nama mereka telah melegenda, seperti
WaliSanga. Penyebaran Islam melalui kesenian atau budaya sepertinya yang paling
banyak mempengaruhi masyarakat. Penyebaran Islam melalui kesenian berupa
wayang, sastra, dan berbagai kesenian lainnya. Pendekatan jalur kesenian
dilakukan oleh para penyebar Islam seperti WaliSanga untuk menarik perhatian di
kalangan mereka, sehingga dengan tanpa terasa mereka telah tertarik kepada
ajaran-ajaran Islam sekalipun pada awalnya mereka tertarik karena media
kesenian itu. Misalnya, Sunan Kalijaga adalah tokoh seniman wayang. Ia tidak pernah
meminta bayaran pertunjukkan seni, tetapi ia meminta para penonton untuk
mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian cerita wayang masih dipetik
dari cerita Mahabarata dan Ramayana, tetapi di dalam cerita itu disisipkan
ajaran dan nama-nama pahlawan Islam. Kesenian-kesenian lain juga dijadikan
media islamisasi, seperti sastra (hikayat, babad, dan sebagainya), seni
arsitektur seperi terlihat pada masjid-masjid peninggalan para ulama wali Sanga,
dan seni ukir yang terdapat pada kediaman atau pada masjid-masjid peninggalan
para wali.
latihan harian
Tokoh-Tokoh Dalam Perkembangan Islam Di Indonesia
Proses
penyebaran Islam di wilayah Nusantara tidak dapat dilepas dari peran aktif para
ulama. Melalui merekalah Islam dapat diterima dengan baik dikalangan
masyarakat. Di antara Ulama tersebut adalah sebagai berikut:
a. Hamzah Fansuri
Ia hidup pada
masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda sekitar tahun 1590. Pengembaraan
intelektualnya tidak hanya di Fansur-Aceh, tetapi juga ke India, Persia, Mekkah
dan Madinah. Dalam pengembaraan itu ia sempat mempelajari ilmu fiqh, tauhid,
tasawuf, dan sastra Arab.
b. Syaikh
Muhammad Yusuf Al-Makasari
Beliau lahir di Moncong Loe,
Gowa, Sulawesi Selatan pada tanggal 3 Juli 1626
M/1037 H. Ia memperoleh pengetahuan Islam dari banyak guru, di antaranya yaitu; Sayid Ba Alwi bin
Abdullah Al-‘allaham (orang Arab yang
menetap di Bontoala), Syaikh
Nuruddin Ar-Raniri (Aceh), Muhammad bin
Wajih As-Sa’di Al-Yamani (Yaman), Ayub bin Ahmad bin Ayub Ad- Dimisqi Al-Khalwati (Damaskus), dan lain
sebagainya.
c. Syaikh
Abdussamad Al-Palimbani
Ia merupakan
salah seorang ulama terkenal yang berasal dari Sumatra Selatan. Ayahnya adalah
seorang Sayid dari San’a, Yaman. Ia dikirim ayahnya ke Timur Tengah untuk
belajar. Di antara ulama sezaman yang sempat bertemu dengan beliau adalah; Syaikh
Muhammad Arsyad Al-Banjari, Abdul Wahab Bugis, Abdurrahman Bugis Al-Batawi dan
Daud Al-Tatani.
d. Syaikh
Muhammad bin Umar n-Nawawi Al-Bantani
Beliau lahir di Tanar, Serang,
Banten. Sejak kecil ia dan kedua saudaranya, Tamim
dan Ahmad, di didik oleh ayahnya dalam bidang agama; ilmu nahwu, fiqh dan tafsir. Selain itu ia juga belajar
dari Haji Sabal, ulama terkenal saat itu,
dan dari Raden Haji Yusuf di Purwakarta Jawa Barat. Kemudian ia pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan menetap disana kurang lebih tiga tahun. Di Mekkah ia
belajar Sayid Ahmad bi Sayid
Abdurrahman An-Nawawi, Sayid Ahmad
Dimyati dan Sayid Ahmad Zaini Dahlan. Sedangkan
di Madinah ia berguru kepada Syaikh Muhammad Khatib Sambas Al-Hambali. Selain itu ia juga mempunyai guru utama dari
Mesir. Pada tahun
1833 beliau kembali ke Banten. Dengan bekal pengetahuan agamanya ia banyak terlibat proses belajar
mengajar dengan para pemuda di wilayahnya yang tertarik
denga kepandaiannya.. tetapi ternyata beliau tidak betah tinggal di kampung halamannya. Karena itu pada tahun 1855
ia berangkat ke Haramain dan menetap disana
hingga beliau wafat pada tahun 1897 M/1314 H.