K.H HASYIM ASY’ARI
Sejarah Nahdlatul Ulama dan Kebangsaan serta Komite Hijaz
Kemampuannya
dalam ilmu hadits, diwarisi dari gurunya, Syaikh Mahfudz At-Tarmasi di Mekkah.
Selama 7 tahun Hasyim berguru kepada Syaikh ternama asal Pacitan, Jawa Timur
itu. Disamping Syaikh Mahfudh, Hasyim juga menimba ilmu kepada Syaikh Ahmad
Khatib Minangkabau. Kepada dua guru besar itu pulalah Kyai Ahmad Dahlan,
pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad
Dahlan sebenarnya tunggal guru.
Yang perlu
ditekankan, saat Hasyim belajar di Mekkah, Muhammad Abduh sedang giat-giatnya
melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Dan sebagaimana diketahui,
buah pikiran Abduh itu sangat mempengaruhi proses perjalanan ummat Islam
selanjutnya. Sebagaimana telah dikupas Deliar Noer, ide-ide reformasi Islam
yang dianjurkan oleh Abduh yang dilancarkan dari Mesir, telah menarik perhatian
santri-santri Indonesia yang sedang belajar di Mekkah. Termasuk Hasyim tentu
saja. Ide reformasi Abduh itu ialah pertama mengajak ummat Islam untuk memurnikan
kembali Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang sebenarnya bukan berasal
dari Islam. Kedua, reformasi pendidikan Islam di tingkat universitas; dan
ketiga, mengkaji dan merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan
kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern; dan keempat, mempertahankan Islam. Usaha
Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam untuk memenuhi kebutuhan kehidupan
modern pertama dimaksudkan agar supaya Islam dapat memainkan kembali tanggung
jawab yang lebih besar dalam lapangan sosial, politik dan pendidikan. Dengan
alasan inilah Abduh melancarkan ide agar ummat Islam melepaskan diri dari
keterikatan mereka kepada pola pikiran para mazhab dan agar ummat Islam
meninggalkan segala bentuk praktek tarekat. Syaikh Ahmad Khatib mendukung
beberapa pemikiran Abduh, walaupun ia berbeda dalam beberapa hal. Beberapa
santri Syaikh Khatib ketika kembali ke Indonesia ada yang mengembangkan ide-ide
Abduh itu. Di antaranya adalah KH Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan
Muhammadiyah. Tidak demikian dengan Hasyim. Ia sebenarnya juga menerima ide-ide
Abduh untuk menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia menolak pikiran Abduh agar
ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mazhab. Ia berkeyakinan bahwa
adalah tidak mungkin untuk memahami maksud yang sebenarnya dari ajaran-ajaran
Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari pendapat-pendapat para ulama besar yang
tergabung dalam sistem mazhab. Untuk menafsirkan Al Qur’an dan Hadist tanpa
mempelajari dan meneliti buku-buku para ulama mazhab hanya akan menghasilkan
pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya, demikian tulis
Dhofier. Dalam hal tarekat, Hasyim tidak menganggap bahwa semua bentuk praktek
keagamaan waktu itu salah dan bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya, ia
berpesan agar ummat Islam berhati-hati bila memasuki kehidupan tarekat. Dalam
perkembangannya, benturan pendapat antara golongan bermazhab yang diwakili
kalangan pesantren (sering disebut kelompok tradisional), dengan yang tidak
bermazhab (diwakili Muhammadiyah dan Persis, sering disebut kelompok modernis)
itu memang kerap tidak terelakkan. Puncaknya adalah saat Konggres Al Islam IV
yang diselenggarakan di Bandung. Konggres itu diadakan dalam rangka mencari
masukan dari berbagai kelompok ummat Islam, untuk dibawa ke Konggres Ummat
Islam di Mekkah.
Karena
aspirasi golongan tradisional tidak tertampung (di antaranya: tradisi bermazhab
agar tetap diberi kebebasan, terpeliharanya tempat-tempat penting, mulai makam
Rasulullah sampai para sahabat) kelompok ini kemudian membentuk Komite Hijaz.
Komite yang dipelopori KH Abdul Wahab Hasbullah ini bertugas menyampaikan
aspirasi kelompok tradisional kepada penguasa Arab Saudi. Atas restu Kyai
Hasyim, Komite inilah yang pada 31 Februari l926 menjelma jadi Nahdlatul Ulama
(NU) yang artinya kebangkitan ulama.
Setelah NU
berdiri posisi kelompok tradisional kian kuat. Terbukti, pada 1937 ketika
beberapa ormas Islam membentuk badan federasi partai dan perhimpunan Islam
Indonesia yang terkenal dengan sebuta MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) Kyai Hasyim
diminta jadi ketuanya. Ia juga pernah memimpin Masyumi, partai politik Islam
terbesar yang pernah ada di Indonesia.
Penjajahan
panjang yang mengungkung bangsa Indonesia, menggugah kesadaran kaum terpelajar
untuk memperjuangkan martabat bangsa, melalui jalan pendidikan dan organisasi.
Pada tahun 1908 muncul sebuah gerakan yang kini disebut Gerakan Kebangkitan
Nasional. Semangat Kebangkitan Nasional terus menyebar ke mana-mana, sehingga
muncullah berbagai organisai pendidikan, sosial, dan keagamaan, diantaranya
Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) tahun 1916, dan Taswirul Afkar tahun
1918 (dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri atau Kebangkitan Pemikiran). Dari
situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat
itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat.
Dengan adanya
Nahdlatul Tujjar, maka Taswirul Afkar tampil sebagi kelompok studi serta
lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa
kota. Tokoh utama dibalik pendirian tafwirul afkar adalah, KH Abdul Wahab
Hasbullah (tokoh muda pengasuh PP. Bahrul Ulum Tambakberas), yang juga murid
hadratus Syaikh. Kelompok ini lahir sebagai bentuk kepedulian para ulama
terhadap tantangan zaman di kala itu, baik dalam masalah keagamaan, pendidikan,
sosial, dan politik.
Pada masa
itu, Raja Saudi Arabia, Ibnu Saud, berencana menjadikan madzhab Salafi-Wahabi
sebagai madzhab resmi Negara. Dia juga berencana menghancurkan semua
peninggalan sejarah Islam yang selama ini banyak diziarahi kaum Muslimin,
karena dianggap bid’ah.
Di Indonesia,
rencana tersebut mendapat sambutan hangat kalangan modernis seperti
Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan
H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang menghormati
keberagaman, menolak dengan alasan itu adalah pembatasan madzhab dan
penghancuran warisan peradaban itu. Akibatnya, kalangan pesantren dikeluarkan
dari keanggotaan Kongres Al Islam serta tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam
Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah, yang akan
mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong oleh
semangat untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta rasa kepedulian terhadap
pelestarian warisan peradaban, maka Kyai Hasyim bersama para pengasuh pesantren
lainnya, membuat delegasi yang dinamai Komite Hijaz. Komite yang diketuai KH
Abdul Wahab Hasbullah ini datang ke Saudi Arabia dan meminta Raja Ibnu Saud
untuk mengurungkan niatnya. Pada saat yang hampir bersamaan, datang pula
tantangan dari berbagai penjuru dunia atas rencana Ibnu Saud, sehingga rencana
tersebut digagalkan. Hasilnya, hingga saat ini umat Islam bebas melaksanakan
ibadah di Mekah sesuai dengan madzhab masing-masing. Itulah peran internasional
kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab
dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat
berharga.
Mendirikan Nahdlatul Ulama
Tahun 1924, kelompok diskusi Taswirul Afkar ingin mengembangkan
sayapnya dengan mendirikan sebuah organisasi yang ruang lingkupnya lebih besar.
Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari yang dimintai persetujuannya, meminta waktu
untuk mengerjakan salat istikharah, menohon petunjuk dari Allah.watch full film
Dinanti-nanti
sekian lama, petunjuk itu belum datang juga. Kyai Hasyim sangat gelisah. Dalam
hati kecilnya ingin berjumpa dengan gurunya, KH Kholil bin Abdul Latif,
Bangkalan.
Sementara nun
jauh di Bangkalan sana, Kyai Khalil telah mengetahui apa yang dialami Kyai
Hasyim. Kyai Kholil lalu mengutus salah satu orang santrinya yang bernama As’ad
Syamsul Arifin (kelak KH R As’ad Syamsul Arifin menjadi pengasuh PP Salafiyah
Syafiiyah Situbondo), untuk menyampaikan sebuah tasbih kepada Kyai Hasyim di
Tebuireng. Pemuda As’ad juga dipesani agar setiba di Tebuireng membacakan surat
Thaha ayat 23 kepada Kyai Hasyim.
Ketika Kyai
Hasyim menerima kedatangan As’ad, dan mendengar ayat tersebut, hatinya langsung
bergentar. ”Keinginanku untuk membentuk jamiyah agaknya akan tercapai,” ujarnya
lirih sambil meneteskan airmata.
Waktu terus
berjalan, akan tetapi pendirian organisasi itu belum juga terealisasi. Agaknya
Kyai Hasyim masih menunggu kemantapan hati.
Satu tahun
kemudian (1925), pemuda As’ad kembali datang menemui Hadratus Syaikh. ”Kyai,
saya diutus oleh Kyai Kholil untuk menyampaikan tasbih ini,” ujar pemuda Asad
sambil menunjukkan tasbih yang dikalungkan Kyai Kholil di lehernya. Tangan
As’ad belum pernah menyentuh tasbih sersebut, meskipun perjalanan antara
Bangkalan menuju Tebuireng sangatlah jauh dan banyak rintangan. Bahkan ia rela
tidak mandi selama dalam perjalanan, sebab khawatir tangannya menyentuh tasbih.
Ia memiliki prinsip, ”kalung ini yang menaruh adalah Kyai, maka yang boleh
melepasnya juga harus Kyai”. Inilah salah satu sikap ketaatan santri kepada
sang guru.
”Kyai Kholil
juga meminta untuk mengamalkan wirid Ya Jabbar, Ya Qahhar setiap waktu,” tambah
As’ad.
Kehadiran
As’ad yang kedua ini membuat hati Kyai Hasyim semakin mantap. Hadratus Syaikh
menangkap isyarat bahwa gurunya tidak keberatan jika ia bersama kawan-kawannya
mendirikan organisai/jam’iyah. Inilah jawaban yang dinanti-nantinya melalui
salat istikharah.
Sayangnya,
sebelum keinginan itu terwujud, Kyai Kholil sudah meninggal dunia terlebih
dahulu.
Pada tanggal
16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926M, organisasi tersebut secara resmi didirikan,
dengan nama Nahdhatul Ulama’, yang artinya kebangkitan ulama. Kyai Hasyim
dipercaya sebagai Rais Akbar pertama. Kelak, jam’iyah ini menjadi organisasi
dengan anggota terbesar di Indonesia, bahkan di Asia.
Sebagaimana
diketahui, saat itu (bahkan hingga kini) dalam dunia Islam terdapat
pertentangan faham, antara faham pembaharuan yang dilancarkan Muhammad Abduh
dari Mesir dengan faham bermadzhab yang menerima praktek tarekat. Ide reformasi
Muhammad Abduh antara lain bertujuan memurnikan kembali ajaran Islam dari
pengaruh dan praktek keagamaan yang bukan berasal dari Islam, mereformasi
pendidikan Islam di tingkat universitas, dan mengkaji serta merumuskan kembali
doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan modern. Dengan ini
Abduh melancarakan ide agar umat Islam terlepas dari pola pemikiran madzhab dan
meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.
Semangat
Abduh juga mempengaruhi masyarakat Indonesia, kebanyakan di kawasan Sumatera
yang dibawa oleh para mahasiswa yang belajar di Mekkah. Sedangkan di Jawa
dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan melalui organisasi Muhammadiyah (berdiri tahun
1912).
Kyai Hasyim
pada prinsipnya menerima ide Muhammad Abduh untuk membangkitkan kembali ajaran
Islam, akan tetapi menolak melepaskan diri dari keterikatan madzhab. Sebab
dalam pandangannya, umat Islam sangat sulit memahami maksud Al Quran atau
Hadits tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama madzhab. Pemikiran yang tegas
dari Kyai Hasyim ini memperoleh dukungan para Kyai di seluruh tanah Jawa dan
Madura. Kyai Hasyim yang saat itu menjadi ”kiblat” para Kyai, berhasil
menyatukan mereka melalui pendirian Nahdlatul Ulama’ ini.
Pada saat
pendirian organisasi pergerakan kebangsaan membentuk Majelis Islam ‘Ala
Indonesia (MIAI), Kyai Hasyim dengan putranya KH Wahid Hasyim, diangkat sebagai
pimpinannya (periode tahun 1937-1942).
Mendirikan Pesantren Tebuireng
Tahun 1899,
Kyai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya
kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri
sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah timur Desa Keras, kurang
lebih 1 km. Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu
(Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal.
Dari tratak
kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai. Kyai Hasyim mengajar dan salat
berjamaah di tratak bagian depan, sedangkan tratak bagian belakang dijadikan
tempat tinggal. Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian
meningkat menjadi 28 orang.
Setelah dua
tahun membangun pesantren Tebuireng, Jombang, Kyai Hasyim kembali harus
kehilangan istri tercintanya, Nyai Khodijah. Saat itu perjuangan mereka sudah
menampakkan hasil yang menggembirakan.
Kyai Hasyim kemudian
menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri Kyai Ilyas, pengasuh Pesantren
Sewulan Madiun. Dari pernikahan ini Kyai Hasyim dikaruniai 10 anak, yaitu: (1)
Hannah, (2) Khoiriyah, (3) Aisyah, (4) Azzah, (5) Abdul Wahid, (6) Abdul Hakim
(Abdul Kholik), (7) Abdul Karim, (8) Ubaidillah, (9) Mashuroh, (10) Muhammad
Yusuf.
Pada akhir
dekade 1920an, Nyai Nafiqoh wafat sehingga Kyai Hasyim menikah kembali dengan
Nyai Masruroh, putri Kyai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu,
Kediri. Dari pernikahan ini, Kyai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu:
(1) Abdul Qodir, (2) Fatimah, (3) Khotijah, (4) Muhammad Ya’kub.
Jasa Bagi
Indonesia
(Resolusi Jihad)
Peran Beliau dalam Kemerdekaan Indonesia
Perjuangan
dan Penjajahan Karena pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kyai
Hasyim menjadi perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha
untuk merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun
1937, tapi ditolaknya. Justru Kyai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan.
Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang
suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih melawan
penjajah muncul di mana-mana. Kedua, Kyai Hasyim juga pernah mengharamkan naik
haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan
disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Keruan saja, Van der Plas
(penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak ummat Islam yang telah mendaftarkan
diri kemudian mengurungkan niatnya.
Namun sempat
juga Kyai Hasyim mencicipi penjara 3 bulan pada l942. Tidak jelas alasan Jepang
menangkap Kyai Hasyim. Mungkin, karena sikapnya tidak kooperatif dengan
penjajah. Uniknya, saking khidmatnya kepada gurunya, ada beberapa santri minta
ikut dipenjarakan bersama Kyainya itu.
Masa awal
perjuangan Kyai Hasyim di Tebuireng bersamaan dengan semakin represifnya
perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia. Pasukan Kompeni ini tidak
segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang undang-undang penjajah.
Pesantren Tebuireng, Jombang pun tak luput dari sasaran represif Belanda.
Pada tahun
1913 M., intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran di
Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga
tewas. Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap Kyai Hasyim
dengan tuduhan pembunuhan.
Dalam
pemeriksaan, Kyai Hasyim yang sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu
menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis. Akhirnya beliau dilepaskan dari
jeratan hukum.
Belum puas
dengan cara adu domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan
untuk memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu.
Akibatnya, hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab
dihancurkan serta dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung
hingga masa-masa revolusi fisik Tahun 1940an.
Pada bulan
Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat
Bandung, sehingga secara de facto dan de jure, kekuasaan Indonesia berpindah
tangan ke tentara Jepang. Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya masa baru
bagi kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang represif kepada Islam, Jepang
menggabungkan antara kebijakan represi dan kooptasi, sebagai upaya untuk
memperoleh dukungan para pemimpin Muslim.
Salah satu
perlakuan represif Jepang adalah penahanan terhadap Hadratus Syaikh beserta
sejumlah putera dan kerabatnya. Ini dilakukan karena Kyai Hasyim menolak
melakukan seikerei. Yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arah
Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar
Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami). Aktivitas ini
juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap
kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang.
Kyai Hasyim
menolak aturan tersebut. Sebab hanya Allah lah yang wajib disembah, bukan
manusia. Akibatnya, Kyai Hasyim ditangkap dan ditahan secara berpindah–pindah,
mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya ke penjara
Bubutan, Surabaya. Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratus Syaikh berada
di pihak yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut ditahan. Selama dalam
tahanan, Kyai Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari
tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan.
Setelah
penahanan Hadratus Syaikh, segenap kegiatan belajar-mengajar di Pesantren
Tebuireng, Jombang vakum total. Penahanan itu juga mengakibatkan keluarga
Hadratus Syaikh tercerai berai. Isteri Kyai Hasyim, Nyai Masruroh, harus
mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang.
Tanggal 18
Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kyai Hasyim dibebaskan oleh Jepang
karena banyaknya protes dari para Kyai dan santri. Selain itu, pembebasan Kyai
Hasyim juga berkat usaha dari KH Wahid Hasyim dan KH Abdul Wahab Hasbullah
dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta.
Tanggal 22
Oktober 1945, ketika tentara NICA (Netherland Indian Civil Administration) yang
dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan Sekutu yang dipimpin
Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya) dengan alasan
mengurus tawanan Jepang, Kyai Hasyim bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad
melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut. Resolusi Jihad
ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Akibatnya, meletuslah perang
rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah itu. Umat
Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari kampung-kampung dengan
membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris.
Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional.
Pada tanggal
7 Nopember 1945—tiga hari sebelum meletusnya perang 10 Nopember 1945 di
Surabaya—umat Islam membentuk partai politik bernama Majelis Syuro Muslim
Indonesia (Masyumi). Pembentukan Masyumi merupakan salah satu langkah
konsolidasi umat Islam dari berbagai faham. Kyai Hasyim diangkat sebagai Ro’is
‘Am (Ketua Umum) pertama periode tahun 1945-1947.
Selama masa
perjuangan mengusir penjajah, Kyai Hasyim dikenal sebagai penganjur, penasehat,
sekaligus jenderal dalam gerakan laskar-laskar perjuangan seperti GPII,
Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Soedirman dan
Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk kepada Kyai Hasyim.
Kisah Teladan Beliau
Kesan Akhlak dan Kecerdasan:
Pernah
terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar, KH Muhammad Hasyim
Asy’ari dengan KH Cholil Bangkalan, gurunya. “Dulu saya memang mengajar Tuan.
Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah murid Tuan,” kata Mbah Cholil,
begitu Kyai dari Madura ini populer dipanggil.
Kyai Hasyim
menjawab, “Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan
kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya,
seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan,
akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya.”
Tanpa merasa
tersanjung, Mbah Cholil tetap bersikeras dengan niatnya. “Keputusan dan
kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa
kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada
Tuan,” katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kyai Hasyim tidak bisa
berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.
Lucunya,
ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju
tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena hendak memasangkan ke
kaki gurunya.
Sesungguhnya
bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan
itu banyak terjadi. Namun yang ditunjukkan Kyai Hasyim juga KH Cholil Bangkalan
adalah kemuliaan akhlak. Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling
menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit ditemukan pada para murid dan
guru-guru kita.
Mbah Cholil
adalah Kyai yang sangat termasyhur pada jamannya. Hampir semua pendiri NU dan
tokoh-tokoh penting NU generasi awal pernah berguru kepada pengasuh sekaligus
pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, ini.
Sedangkan
Kyai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja ia pendiri sekaligus
pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat kuat kepada kalangan ulama,
tapi juga lantaran ketinggian ilmunya. Terutama, terkenal mumpuni dalam ilmu
Hadits. Setiap Ramadhan Kyai Hasyim punya ‘tradisi’ menggelar kajian hadits
Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk. Kajian itu mampu menyedot perhatian
ummat Islam.
Maka tak
heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk mantan
gurunya sendiri, KH Cholil Bangkalan. Ribuan santri menimba ilmu kepada Kyai
Hasyim. Setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara santri Kyai Hasyim
kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas. KH Abdul
Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri, KH R As’ad Syamsul Arifin, KH Wahid Hasyim
(anaknya) dan KH Achmad Shiddiq adalah beberapa ulama terkenal yang pernah
menjadi santri Kyai Hasyim.
Tak pelak
lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren paling besar dan paling penting
di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku ‘Tradisi Pesantren’, mencatat bahwa
pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren
di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila para pengikutnya kemudian memberi
gelar Hadratus-Syaikh (Tuan Guru Besar) kepada Kyai Hasyim.
Mengambil Cincin Gurunya dari Lubang WC
Salah satu
rahasia seorang murid bisa berhasil mendapatkan ilmu dari gurunya adalah taat
dan hormat kepada gurunya. Guru ada lah orang yang punya ilmu. Sedangkan murid
adalah orang yang mendapatkan ilmu dari sang guru. Seorang murid harus berbakti
kepada gurunya. Dia tidak boleh membantah apalagi menentang perintah sang guru
(kecuali jika gurunya mengajarkan ajaran yang tercela dan bertentangan dengan
syariat Islam maka sang murid wajib tidak menurutinya). Kalau titah guru baii,
murid tidak boleh membantahnya.
Inilah yang
dilakukan Kyai Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdlatul ‘Ulama). Beliau nyantri kepada
KH Cholil Bangkalan, Bangkalan. Di pondok milik Kyai Kholil, Kyai Hasyim
dididik akhlaknya. Saban hari, Kyai Hasyim disuruh gurunya angon (merawat) sapi
dan kambing. Kyai Hasyim disuruh membersihkan kandang dan mencari rumput. Ilmu
yang diberikan Kyai Kholil kepada muridnya itu memang bukan ilmu teoretis,
melainkan ilmu pragmatis. Langsung penerapan.
Sebagai
murid, Kyai Hasyim tidak pernah ngersulo (mengeluh) disuruh gurunya angon sapi
dan kambing. Beliau terima titah gurunya itu sebagai khidmat (penghormatan)
kepada guru. Beliau sadar bahwa ilmu dari gunya akan berhasil diperoleh apabila
sang guru ridlo kepada muridnya. Inilah yang dicari Kyai Hasyim, yakni keridoan
guru. Beliau tidak hanya berhadap ilmu teoretis dari Kyai Kholil tapi lebih
dari itu, yang diinginkan adalah berkah dari KH Cholil Bangkalan.
Kalau anak
santri sekarang dimodel seperti ini, mungkin tidak tahan dan langsung keluar
dari pondok. Anak santri sekarang kan lebih mengutamakan mencari ilmu teoretis.
Mencari ilmu fikih, ilmu hadits, ilmu nahwu shorof, dan sebagainya. Sementara
ilmu “akhlak” terapannya malah kurang diperhatikan.
Suatu hari,
seperti biasa Kyai Hasyim setelah memasukkan sapi dan kambing ke kandangnya,
Kyai Hasyim langsung mandi dan sholat Ashar. Sebelum sempat mandi, Kyai Hasyim
melihat gurunya, Kyai Kholil termenung sendiri. Seperti ada sesuatu yang
mengganjal di hati sang guru. Maka diberanikanlah oleh Kyai Hasyim untuk
bertanya kepada Kyai Kholil.
“Ada apa
gerangan wahai guru kok kelihatan sedih,” tanya Kyai Hasyim kepada KH Cholil
Bangkalan.
” Bagaimana
tidak sedih, wahai muridku. Cincin pemberian istriku jatuh di kamar mandi. Lalu
masuk ke lubang pembuangan akhir (septictank),” jawab Kyai Kholil dengan nada
sedih.
Mendengar
jawaban sang guru, Kyai Hasyim segera meminta ijin untuk membantu mencarikan
cincin yang jatuh itu dan diijini. Langsung saja Kyai Hasyim masuk ke kamar
mandi dan membongkar septictank (kakus). Bisa dibayangkan, namanya kakus
dalamnya bagaimana dan isinya apa saja. Namun Kyai Hasyim karena hormat dan
sayangnya kepada guru tidak pikir panjang. Beliau langsung masuk ke septictank
itu dan dikeluarkan isinya. Setelah dikuras seluruhnya, dan badan Kyai Hasyim
penuh dengan kotoran, akhirnya cincin milik gurunya berhasil ditemukan.
Betapa
riangnya sang guru melihat muridnya telah berhasil mencarikan cincinnya itu.
Sampai terucap doa: “Aku ridho padamu wahai Hasyim, Kudoakan dengan
pengabdianmu dan ketulusanmu, derajatmu ditinggikan. Engkau akan menjadi orang
besar, tokoh panutan, dan semua orang cinta padamu”.
Demikianlah
doa yang keluar dari KH Cholil Bangkalan. Karena yang berdoa seorang wali, ya
mustajab. Tiada yang memungkiri bahwa di kemudian hari, Kyai Hasyim menjadi
ulama besar. Mengapa bisa begitu? Disamping karena Kyai Hasyim adalah pribadi
pilihan, beliau mendapat “berkah” dari gurunya karena gurunya ridho kepadanya.
KERAJAAN
MATARAM
Berdirinya
Kerajaan Mataram bermula dari keberhasilan Sutawijaya dalam pertempuran
mengalahkan Aria Penangsang asal Jipang. Atas keberhasilannya tersebut,
Sutawijaya kemudian mendapatkan hadiah Hutan Mentaok dari Sultan Hadi Wijaya.
Sebelum diberikan ke Sutawijaya, Hutan Mentaok awalnya dipimpin oleh ayah
Sutawijaya yakni Ki Ageng Pamanahan.
Sepeninggal Ki Ageng Pamanahan, Hutan Mentaok kemudian dipegang oleh Sutawijaya dengan gelar Panembahan Senopati. Wilayah pemerintahannya pada saat itu mewarisi wilayah Kerajaan Pajang atau sekitar kawasan Jawa Tengah saat ini. Pusat pemerintahan berada di Mentaok timur Kota Yogyakarta dan selatan Bandar Udara Adisucipto. Awalnya lokasi keraton terletak di kawasan Banguntapan kemudian pindah ke Kotagede. Setelah Sutawijaya meninggal dan dimakamkan di Kotagede, kekuasaan diturunkan ke putranya Mas Jolang yang bergelar Prabu Hanyokrowati. Sayangnya pemerintahan Prabu Hanyokrowati tak berlangsung lama. Ia wafat setelah mengalami kecelakaan saat berburu di hutan Krapyak. Karena itulah beliau disebut Susuhunan Seda Krapyak, artinya Raja (yang) wafat (di) Krapyak. tahta kerajaan kemudian dialihkan sementara waktu ke tangan putra keempat Mas Jolang, Adipati Martopuro. Penyakit syaraf yang diderita Adipati Martopuro membuat tahta kerajaan harus dialihkan ke putra sulung Mas Jolang yakni Mas Rangsangpada. Di masa pemerintahan Mas Rangsang inilah Mataram mengalami zaman keemasan.
Kerajaan Mataram Islam berpusat di
kawasan Kota Gede, Yogyakarta saat ini. Wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram
sebelum tahun 1613 mencakup wilayah Kerajaan Pajang atau Jawa Tengah.
Kemudian
di bawah pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645) wilayah kekuasaan
Mataram diperluas hingga mencakup kawasan Jawa Barat, sebagian Jawa Timur
seperti Surabaya, Lasem, Pasuruan, Tuban dan Madura.
Silsilah Kerajaan Mataram
Kesultanan Mataram pernah dipimpin oleh
6 raja. Berikut nama keenam raja tersebut :
1.
Ki Ageng Pamanahan
Raja
pertama dari Kerajaan Mataram adalah Ki Ageng Pamanahan. Beliau merupakan
pendiri Desa Mataram yang menjadi cikal bakal Kerajaan Mataram di tahun 1556.
Desa Mataram ini awalnya berupa hutan yang bernama Alas Mentaok kemudian
dijadikan pemukiman penduduk.
Di
tahun 1584 Ki Ageng Pamanahan menghembuskan napas terakhirnya dan dimakamkan di
kawasan Kotagede.
2.
Panembahan Senopati
Kekuasaan
Mataram kemudian dilanjutkan ke tangan anak Ki Ageng Pamanahan yakni
Sutawijaya. Sutawajaya merupakan anak angkat dan menantu Sultan Kerajaan
Pajang. Beliau juga menjadi senapati di Kerajaan Pajang yang kemudian bergelar
Panembahan Senapati.
Di
bawah pemerintahan Panembahan Senapati Kerajaan Mataram mengalami kebangkitan.
Kerajaan ini kemudian memperluas wilayahnya mulai dari Pajang kemudia ke Demak,
Pasuruan, Tuban, Madiun dan sebagian wilayah Surabaya. Di tahun 1523 Panembahan
Senapati wafat dan digantikan oleh RM. Jolang, anaknya.
3.
Panembahan Anyakrawati
Panembahan
Anyakrawati atau Raden Mas Jolang merupakan keturunan dari Panembahan Senapati
dengan putri dari Ki Ageng Panjawi. Ia memerintah mulai dari 1606 sampai 1613.
Raden Mas Jolang mangkat pada 1613 tepatnya di Desa Krapyak kemudian dimakamkan
di makam agung Kotagede.
4. RM. Rangsang
Sepeninggal
Panembahan Anyakrawati, kekuasaan diteruskan ke putra Raden Mas Jolang, yakni
Raden Mas Rangsang. Beliau memerintah mulai 1613 sampai 1645. RM. Rangsang
lebih dikenal sebagai Sultan Agung, raja terbesar di Kerajaan Mataram. Pada
masa pemerintahannya, Kerajaan Mataram mencapai kejayaannya bahkan menguasai
hampir seluruh wilayah Tanah Jawa.
Sultan
Agung tak hanya melakukan penaklukan wilayah, tapi juga gigih melawan VOC.
Beliau wafat di tahun 1645 dan dimakamkan di Imogiri. Di masa pemerintahannya,
kerajaan Islam ini berkembang pesat sebagai Kerajaan Agraris bukan sebagai
Kerajaan Maritim.
5.
Amangkurat I
Setelah
Sultan Agung mangkat, kekuasaan diturunkan ke putranya Sultan Amangkurat. Pada
tahun 1647 Sultan Amangkurat memindahkan pusat kerajinan yang awalnya di
Kotagede ke Keraton Plered.
Sultan
Amangkurat menjadi raja mulai dari 1638 sampai 1647. Tak seperti pendahulunya
yang bersimpangan dengan VOC, Amangkurat I justru berteman dengan VOC. Hal ini
memicu perpecahan pada Kerajaan Mataram Islam. Amangkurat I wafat pada bulan
Juli 1677.
6.
Amangkurat II
Amangkurat
II merupakan pendiri Kasunanan Kartasura yang menjadi kelanjutan Kesultanan
Mataram. Amangkurat II memerintah mulai tahun 1677 – 1703. Raden Mas Rahmat
sering disebut juga sebagai Sunan Amral (Admiral) karena menjadi raja Jawa yang
pertama kali menggunakan pakaian dinas berupa pakaian Eropa.
Masa
Kejayaan Kerajaan Mataram
Kerajaan
Mataram mengalami masa kejayaan di bawah pemerintahan Raden Mas Rangsang atau
sultan Agung. Pada masa pemerintahannya, ia memindahkan lokasi keraton ke Karta
(Jawa. Kerta sehingga disebut Mataram Karta). Pemerintahannya mencakup wilayah
Pulau Jawa dan Madura kecuali Batavia.
Karena
sering mengalami gesekan dalam penguasaan perdagangan dengan VOC di Batavia,
Kerajaan Mataram kemudian berkoalisi dengan Kesultanan Banten dan Kesultanan
Cirebon untuk melawan VOC.
Masa
Keruntuhan Kerajaan Mataram
Di
masa pemerintahan Amangkurat I, Kesultanan Mataram sering mengalami
pemberontakan. Pemberontakan terbesar yang dipimpin oleh Trunajaya akhirnya
memaksa Amangkurat I untuk berkoalisi dengan VOC.
Pengganti
Amangkurat I, yakni Amangkurat II juga kurang disukai oleh kalangan istana
karena begitu tunduk oleh VOC. Hal ini memicu pemberontakan yang memaksa
keraton dipindahkan ke Kartasura karena keraton yang lama dianggap sudah
tercemar. Setelah Amangkurat II wafat, kekuasaan diturunkan ke Amangkurat III,
Amangkurat IV dan Pakubuwana II.
Tak seperti pendahulunya yang tunduk pada VOC, Amangkurat III tak tunduk pada VOC. Hal ini membuat VOC geram dan menobatkan Pakubuwana I sebagai raja. Adanya dua orang raja memicu perpecahan internal di kalangan keraton
Amangkurat III kemudian melakukan pemberontakan dan ditangkap di Batavia. Kekacauan politik baru bisa diredakan pada masa Pakubuwana III yang membagi wilayah Mataram menjadi dua yakni Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta
Peninggalan Kerajaan Mataram